Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut UUD 1945
Komunikasi oleh warga negara merupakan hak pribadi yang harus dilindungi hukum, sehingga penyadapannya dilarang. UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas diri pribadi, kekayaan, kehormatan, martabat dan harta bendanya, konstitusi juga menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28F, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) yang menyebutkan:
Pasal 28F:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28G ayat (1):
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Berdasarkan sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).
Berdasarkan pasal-pasal di atas bahwa komunikasi oleh warga negara merupakan hak pribadi yang harus dilindungi oleh hukum. Penyadapan atas suatu proses komunikasi oleh pihak lain merupakan tindakan yang tercela karena melanggar hak-hak privasi yang dilindungi secara hukum. Tapi, hak-hak yang diatur dalam pasal tersebut termasuk hak untuk berkomunikasi bukanlah hak yang tidak dapat disimpangi/dikurangi (nonderogable rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:
Pasal 28I ayat (1):
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurut ketentuan pasal tersebut, bahwa hak untuk berkomunikasi tidak termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights), sehingga hak ini dapat dikesampingkan. Dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jadi menurut UUD 1945 Pasal 28F, penyadapan merupakan bentuk pelanggaran HAM untuk berkomunikasi, tapi penyadapan dianggap sebagai perbuatan yang sah untuk menegakkan keadilan guna mengungkap siapa pelaku tindak pidana korupsi, karena Pasal 28J ayat (2) menjelaskan “di samping menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
KUHAP tidak mengatur mengenai legalitas penyadapan (wiretapping) yang dilakukan oleh jaksa penyidik. KUHAP hanya menjelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j, “penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyidikan untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
Legalitas penyadapan baru disusun dalam RUU KUHAP. Pemerintah dapat memberikan pertimbangan sifat eksepsionalitas tersebut dari dalam Rancangan KUHAP Indonesia yang sudah ada pada pemerintah. Rancangan KUHAP pada BAB IV bagian Kelima (Pasal 83 & Pasal 84) tentang Penyadapan, dapat dilakukan terhadap tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan untuk waktu 30 hari dengan perpanjangan 1 kali untuk waktu 30 hari lagi, yaitu tindak pidana terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyelundupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, mengenai bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran berat HAM dan narkotika, serta pemerkosaan.
Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Keabsahan penyadapan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi menurut UU pemberantasan tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 26 dan 26A yang menyatakan :
Pasal 26: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Pasal 26A: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman dan/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan.
Suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Pasal 26 tersebut dalam penjelasannya mengatakan bahwa kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping). Sedangkan penjelasan mengenai pasal 26A, yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik“ misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu“ dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam UU KPK pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan: dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Pasal inilah yang menjadi dasar bagi KPK untuk melakukan penyadapan guna mengungkap pelaku tindak pidana korupsi. Sejumlah undang-undang di Indonesia, memang telah memberikan kewenangan khusus pada penyidik untuk melakukan penyadapan telepon dan merekam pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang-Undang Narkotika, Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan terdapat perbedaan prinsip antara satu dengan undang- undang lainnya.
Undang-Undang Narkotika mengharuskan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Berbeda dengan kedua undang- undang itu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Namun dalam Undang-undang KPK boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di lembaga ini, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal: Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia. Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.