Emile Durkheim adalah seorang tokoh yang melahirkan fungsionalisme struktural. Ia dilahirkan di Epinal Perancis Timur tahun 1858. Tetapi ia tidak mengikuti tradisi orang tua dan juga kakeknya tetapi ia memilih untuk menjadi Katolik.
Durkheim adalah sosiolog Prancis pertama yang menempuh jenjang ilmu sosiologi paling akademis. Ia memiliki otak cemerlang, kendati baru pada usia 21 tahun ia diterima di Ecole Normale Siperfure, setelah dua kali mengalami kegagalan mengikuti test. Disertasi doktoralnya The Division of Labor in Society yang diterbitkan 1893, merupakan karya klasik yang menarik banyak perhatian dalam tradisi sosiologi. Dalam buku ini ia memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma tertib sosial, serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Ide dasarnya adalah bahwa evolusi sejarah berkembang dari masyarakat yang bertumpu pada solidaritas mekanik, menurut masyarakat yang bertumpu pada solidaritas organik, yakni masyarakat yang berkembang atas dasar pembagian kerja. Dalam hal ini ia banyak berhutang budi kepada penulis-penulis sebelumnya seperti Comte dan Spenser, serta Tonnies yang telah membuat dikotomi perkembangan masyarakat Gemeinschaft dan Gesellschaft.
Solidaritas sosial dan integrasi sosial merupakan perhatian utama dalam analisis Durkheim. Hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh fenomena sosial yang muncul saat itu. Masyarakat di mana ia hidup tengah mengalami kegoncangan yang berkepanjangan, akibat revolusi Perancis.
Ketegangan muncul akibat konflik antara kelompok monarki dengan kaum Republik sayap kiri. Kekalahan Perancis dan Prusia pada tahun 1870, semakin menenggelamkan masyarakatnya dan sangat melukai rasa kebangsaan mereka. Tetapi meski demikian industri tetap berjalan dan bahkan menghasilkan berbagai perkembangan dan perubahan baru dalam struktur ekonomi, hubungan sosial tradisional serta pola-pola mata pencaharian lama dihancurkan dan mulai muncul tata kehidupan ekonomi sosial dan industri baru. Tetapi dasar-dasar keteraturan baru itu kelihatan goyah dan membawa berbagai akibat seperti terjadi kondisi-kondisi terpuruk. Dalam keadaan seperti itu, Durkheim kemudian tertarik untuk memahami dasar-dasar munculnya keteraturan baru tersebut.
Di mata Durkheim, subyek sosiologi adalah “fakta sosial”, yang memiliki ciri-ciri gejala empirik yang terukur, eksternal dan menekan (coercive). Eksternal dalam arti di luar pertimbangan-pertimbangan individu sebagai entitas biologis. Di samping itu ia juga memiliki kekuatan koersif untuk menekan terhadap kemauan individu. Ia merupakan sesuatu yang bis diukur sehingga bisa dikaji secara empirik dan bukan filosofis, sehingga fakta sosial tidak bisa dikaji semata-mata dengan pendekatan mentak ansich, melainkan memerlukan data dari luar fikiran manusia. studi empirik mengenai fakta sosial sebagai barang terukur merupakan koreksi terhadap teori Comte dan Spenser.
Durkheim membedakan dua jenis fakta sosial-material dan non- material. Fakta sosial material antara lain masyarakat, komponen struktur masyarakat seperti gereja, negara, juga komponen masyarakat seperti distribusi penduduk jaringan komunikasi dan perumahan, jadi sesuatu yang real, entitas material sejauh ia sebagai elemen eksternal. Oleh karena itu di sini ia memasukkan arsitektur dan hukum sebagai fakta sosial material, dalam arti ia merupakan manifestasi material dari fakta sosial non-material. Durkehim memasukkan fakta sosial non material, dan hal ini menjadi fokus utama dalam sosiologi Durkheim menyebutnya norma, nilai-nilai, moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif, peristiwa- peristiwa sosial dan budaya pada umumnya. Dengan demikian ranah analisis Durkheim lebih bersifat makro obyektif.
Dari dimensi teoritik yang diungkap durkhim dapat dipelajari mengenai pembagian kerja dalam masyarakat, anomic, perkembangan masyarakat dan bunuh diri, agama, aktor serta aksi dan interaksi individu. Dalam analisisnya terhadap pembagian kerja masyarakat, Durkheim banyak dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spenser yang menggunakan analogi biologis memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari bagian yang saling tergantung satu sama lainnya. Durkheim memandang masyarakat modern sebagai keseluruhan organis yang mempunyai realitasnya sendiri. Keseluruhan organis yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tersebut tidak terpenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Patologi dalam masyarakat modern, menurut Durkheim berupa kemerosotan moralitas umum yang melahirkan anomie.
Masyarakat terintegrasi karena adanya kesepakatan di antara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Nilai- nilai kemasyarakatan ini oleh Durkheim disebut dengan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran kolektif ini berada di luar individu (exterior), namun memiliki daya kesadaran kolektif adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur hubungan di antara anggota masyarakat bersangkutan. Kesadaran kolektif tersebut bisa terwujud aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk, luhur dan mulia, dan sebagainya. Misalnya kesadaran kolektif yang berwujud agama yang dalam klasifikasi Durkheim agama diklasifikasi secara langsung bagian dari fakta sosial non-material, berbeda dengan hukum atau arsitektur. Agama itu praktek -praktek kehidupan yang mampu mempersatukan ke dalam kesatuan moralitas masyarakat yang disebut dengan gereja, dari siapa saja yang setia dengannya.
Asal mulaagama dari masyarakat itu sendiri, dengan adanya perbedaan (yang dilakukan individu-individu) tentang hal-hal yang sakral, bentuk esensi agama yang menjadi sumber referensi, respek, misteri, rasa terpesona dan hormat, dan hal-hal yang profane dalam kehidupan sehari- hari, tempat-tempat umum, kegunaan sesuatu, kehidupan duniawi, yang masing-masing orang bersikap tertentu. Penghargaan terhadap suatu fenomena dapat mentransformasikan seseorang dari yang profane menjadi sakral. Berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat primitif, suku Arunta di Australia berkesimpulan bahwa Tuhan hanya idealisme masyarakat itu sendiri yang menganggap sebagai makhluk paling sempurna. Agama merupakan lambang kolektif masyarakat dalam bentuknya yang ideal. Karena itu, agama merupakan sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif yang diwujudkan melalui upacara-upacara atau ritus-ritus. Dalam masyarakat primitif, agama merupakan sumber intelektual dan moral konformitas terhadap kesadaran kolektif. Tetapi dalam masyarakat modern agama mengalami “penyempitan” makna, tidak lebih dari sa lah satu representasi kolektif yang di samping sumber kesadaran atau moralitas kolektif lainnya yang dibentuk dari institusi lain seperti hukum dan pengetahuan.
Selain pemisahan dari yang profane dengan yang sakral, dan proses transformasi aspek kehidupan sosial ke dalam kehidupan yang sakral, terbentuknya agama masih membutuhkan tiga prasyarat lainnya, yaitu pertama, keyakinan keagamaan, kedua, ritus atau ketentuan yang mengatur seseorang ketika menghadapi obyek yang sakral, dan terakhir agama membutuhkan gereja.
ADS HERE !!!