Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.
Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, maka hal ini menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.
Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Hukum mempunyai arti penting bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintah, dan pejabat negara dan pemerintah. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan hukum, Di samping itu hukum dapat dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis.
Kekuasaan kehakiman dalam sistem tata negara modern, merupakan pilar ketiga dalam perwujudan kekuasaan negara. Cabang kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang terorganisir dan dijalankan sendiri oleh lembaga kekuasaan kehakiman. Teori dan konsep pemisahan kekuasaan, khususnya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman, menginginkan suatu independensi peradilan.
Konsep tersebut menekankan pentingnya hakim dapat bekerja (memutus perkara/sengketa) secara independen dari pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif. Bahkan dalam memutus pengujian peraturan perundang-undangan, hakim juga harus terlepas dari pengaruh politik.
Kedudukan hakim berada pada sifatnya yang sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan antara negara (state), pasar (market) dan masyarakat (civil society), hakim harus berada di tengah-tengah, tidak lebih condong ke salah satu kelompok. Oleh karena itu, hakim dan cabang kekuasaan kehakiman sudah sepatutnya harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan tersendiri. Selain itu, keberadaan suatu kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial) juga merupakan salah satu ciri negara hukum yang demokratis (rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy). Bagaimana pun sistem hukum yang dipakai oleh suatu negara, prinsip independen dan tidak berpihak harus dijalankan oleh setiap cabang kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif).
Upaya untuk menjamin terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan, memerlukan jaminan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga selalu mengatur kekuasaan kehakiman dan menjamin independensinya. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilantata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip peradilan yang sangat pokok dalam sistem peradilan suatu negara yaitu 1) independensi hakim dan badan peradilan (judiciary Independence), dan 2) ketidakberpihakan hakim dan badan peradilan (judiciary impartiality). Prinsip-prinsip tersebut harus diwujudkan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Independensi peradilan juga tercermin dari berbagai pengaturan secara internal yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem manajemen perkara, penggajian, serta pemberhentian para hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan merupakan suatu kebutuhan terhadap keberadaan hakim yang dapat bekerja secara imparsial dan tidak memihak salah satu pihak.
Perkembangan konsep badan peradilan terjadi di berbagai belahan dunia, konsep-konsep dan pemikiran mengenai prinsip-prinsip peradilan yang baik juga ikut terus berkembang. Dalam Forum International Judicial Conference di Bangalore, India pada 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim se-dunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft. Selanjutnya draft tersebut terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan sehingga pada akhirnya diterima oleh para hakim di berbagai negara yang digunakan sebagai pedoman bersama atau yang secara resmi disebut sebagai The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yang mencantumkan enam prinsip penting yang harus dijadikan pedoman bagi para hakim di dunia, sebagai berikut:
1. Prinsip Independensi
Independensi hakim dan badan peradilan merupakan jaminan bagi tegaknya negara hukum dan keadilan. Independensi harus tercermin dalam proses pemeriksaan perkara serta pengambilan keputusan. Independensi hakim dan badan peradilan dapat terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim baik secara sendiri maupun institusi dari berbagai pengaruh dan intervensi dari cabang kekuasaan lain. Independensi memberikan pencitraan bahwa hakim dan badan peradilan memiliki wibawa, bermartabat dan dapat dipercaya.
2. Prinsip Ketidakberpihakan
Ketidakberpihakan merupakan sikap netral, menjaga jarak dengan semua pihak yang berperkara, dan tidak mengutamakan kepentingan salah satu pihak. Sikap ketidakberpihakan juga harus tercermin dalam proses pemeriksaan perkara serta pengambilan keputusan.
3. Prinsip Integritas
Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan pribadi setiap hakim sebagai pribadi sendiri maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Integritas juga menyangkut sikap jujur, setia, tulus sekaligus kekuatan menolak hal-hal yang dapat merusak citra dan moral para hakim.
4. Prinsip Kepantasan
Merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara dalam kegiatan tertentu. Sedangkan kesopanan terwujud dari perilaku hormat hakim dan tidak merendahkan pihak-pihak lain.
5. Prinsip Kesetaraan
Prinsip ini secara esensial harus melekat dalam setiap sikap hakim untuk selalu memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.
6. Prinsip Kecakapan dan Kesaksamaan
Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
Selain prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct, para hakim Indonesia juga merumuskan mengenai prinsip-prinsip umum peradilan yang baik. Prinsip-prinsip tersebut sebagaimana tercantum dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang berisi 13 (tiga belas) butir prinsip-prinsip peradilan umum yang
baik, yaitu:
a) Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan;
b) Setiap orang berhak mengajukan perkara sepanjang mempunyai kepentingan;
c) Larangan menolak untuk mengadili kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
d) Putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama;
e) Asas imparsialitas (tidak memihak);
f) Asas kesempatan untuk membela diri (audi et alteram partem);
g) Asas objektivitas (no bias);
h) Menjunjung tinggi prinsip bahwa hakim tidak boleh mengadili perkara di mana ia terlibat dalam perkara a quo (nemo Jude in rex sua);
i) Penalaran hukum (legal reasoning) yang jelas dalam isi putusan;
j) Akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan);
k) Transparansi (keterbukaan);
l) Kepastian hukum dan konsistensi;
m) Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Suatu badan ataupun sistem peradilan dipandang harus memenuhi aspek-aspek atau ciri-ciri tertentu agar dapat dinyatakan sebagai peradilan yang baik atau ideal. Jika diringkas, maka aspek-aspek peradilan yang baik dapat dilihat dari sumber daya hakim yang mumpuni dan berkualitas dan manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik.
Keseluruhan aspek-aspek sumber daya manusia (hakim) dalam badan peradilan yang mencakup proses rekrutmen, pelatihan, evaluasi, reward and punishment, remunerasi hakim harus menghasilkan keluaran hakim-hakim yang berkualitas, yaitu para hakim yang dalam menjalankan tugasnya mencerminkan prinsip-prinsip peradilan yang baik. Para hakim berkualitas tersebut dituntut untuk dapat independen, imparsial, memiliki integritas, dan kecakapan. Sehingga putusan-putusan yang dihasilkan para hakim berkualitas dan memenuhi tujuan penegakan hukum dan perwujudan keadilan dalam masyarakat.
Aspek manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik juga merupakan aspek penting dalam keberlangsungan proses perkara di badan peradilan. Manajemen peradilan bertanggung jawab terhadap hal-hal administratif pengadilan, seperti kegiatan rekrutmen pegawai, pelatihan bagi calon-calon hakim, administrasi dan pengelolaan keuangan, dan lain-lain. Sistem kepaniteraan juga harus ditunjang oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung terwujudnya proses persidangan dengan baik. Panitera harus memiliki pengetahuan baik secara teori dan praktik hal-hal yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, seperti misalnya registrasi perkara, alur persidangan, proses administrasi upaya hukum, dan lain-lain. Sistem manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik dan rapi akan membawa manfaat bagi proses kerja badan peradilan yang sistematis dan transparan, sehingga seluruh pihak dapat melihat dan mengawasi jalannya proses peradilan.
Upaya untuk mewujudkan peradilan yang baik, Mahkamah Agung sebagai puncak badan peradilan di empat lingkungan peradilan, harus menempuh upaya sistematis untuk menyelesaikan akar masalah tersebut. Permasalahan penumpukan perkara harus cepat diselesaikan dengan proses penyaringan perkara (dismissal procedure) yang ketat untuk tiap-tiap kasus yang masuk dalam tingkat kasasi maupun tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Perbaikan kualitas dan konsistensi putusan juga perlu ditingkatkan sehingga dapat menghilangkan adanya putusan mahkamah yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan untuk perkara yang sama. Pemberdayaan sumber daya manusia yang memadai, termasuk optimalisasi rekrutmen calon hakim yang berkualitas dapat mewujudkan putusan yang berkualitas. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus mengambil langkah tegas untuk mengeliminasi jual beli isi putusan. Keterbukaan informasi dan manajemen perkara serta putusan dapat mendorong pengawasan yang lebih kuat baik dari internal maupun eksternal, sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.