Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dari seorang keluarga cendekiawan. Namun, sewaktu masih kecil, Sartre ditinggal mati oleh Ayahnya. Hingga ia dibesarkan oleh ibu dan kakeknya. Hasil didikan dari kakeknya lah yang paling mempengaruhi pemikiran Sartre kedepannya. Sartre benar-benar dipaksa untuk belajar ilmu pengetahuan serta mengembangkan bakatnya semaksimal mungkin.
Diluar Denmark tulisan Kierkegaard tidak berpengaruh banyak kecuali setelah abad ke 20. Pada masa itu terjemahan bahasa jerman selesai dibuat. Setelah perang dunia 1. Sehingga, peminat untuk mempelajari pemikiran Kierkegaard mulai bermunculan seperti Karl Jesper dan Martin Heidegger yang amat berpengaruh kepada gagasan-gagasan pokoknya.
Berawal dari Jerman, pemikiran-pemikiran ini menyebar ke Prancis dimana para penulis dan pemikir tertentu langsung dikenal sebagai orang-orang eksistensialis, mislanya Marcel dan Beryaev. Namun, sering kita jumpai dalam referensi bahwa eksistensialisme Prancis selalu dihubungkan dengan Prancis Jean Paul Sarte.
Sarte memang memiliki pemikiran yang unik. Ia adalah sosok sosok yang langka tentang filosof yang sekaligus juga seorang dermawan. Di sisi lain ia juga seorang novelis yang sukses dan seorang kritikus satra yang produktif. Kita dapat melihat dalam filsafatnya yang menunjukan bahwa manusia modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada. Konsekuensi logisnya adalah benda-benda yang ada di bumi ini adalah ada tanpa maksud, sekadar ada tanpa alas an apapun.
Dengan pernyataan yang menyatakan bahwa dunia ada tanpa maksud, Sartre menamai semua itu dengan kata absurd. Bukan hanya itu, ternyata absurd yang berkepanjangan juga akan membangkitkan rasa muak dalam diri manusia. Muak adalah sesuatu yang menjijikkan karena kurangnya makna dalam keberadaannya. Manusia dianggap hidup di dunia ini adalah tidak jelas, tidak ada tujuan.
Sartre juga membahas tentang pertanyaan-pertanyaan dasar dalam filsafat, seperti, apakah manusia itu ? di samping itu, ia juga membuat dikotomisasi antara makhluk yang lain dengan manusia. Manusia memiliki kebebasan sedang yang lain tidak memilikinya. Dunia di bawah manusia hanya sekedar ada, hanya disesuaikan, diberikan, sedang manusia menciptakan dirinya sendiri dalam pengertian bahwa ia menciptakan hakikat keberadaannya sendiri. Manusia ada pertama kali sebagai benda tetapi kemudian menjadi manusia sejati ketika ia secara bebas memilih moralitas yang diinginkannya. Dengan kebebasan memilih bagi dirinya sendiri benda-benda maupun nilai untuk dirinya sendiri, ia akan membentuk hahikat dirinya ; ia menciptakan dirinya sendiri. Karena manusia benar-benar menjadi manusia hanya pada tingkat dimana ia menciptakan diriny a sendiri dengan tindakan bebasnya sebagaimana Sartre mengekpresikan , “Manusia bukanlah suatu yang lain kecuali bahwa ia menciptakn dirinya sendiri.”
Lebih ektrem lagi, Sartre menyatakan bahwa manusia berkehendak bebas-sebebas-bebasnya. Menciptakan dirinya sendiri pada pilihan moralitasnya, kemudian timbul ukuran apa yang harus diikuti ? karena Tuhan tidak ada, kata Sartre maka tidak ada hukum mengenai moralitas, tidak ada norma-norma yang objektif. Setiap orang sepenuhnya milik dirinya sendiri, maka ia harus memutuskan untuk dirinya sendiri pula dan harus memilih sendiri.
Jika dianalisis, maka Sartre akan mendapatkan sebuah masalah besar. Pertanyaan besar untuknya adalah, bagaimana manusia mengatur kehidupan sosialnya jika hanya terfokus pada kehendak bebas. Manusia akan sangat kesulitan untuk mengontrol keadaan, dinamika masyarakat.Sartre kemudian meneruskan alasannya, dalam memilih dirinya sendiri, setiap manusia mengalami sesuatu perasaan bebas yang memuakkan karena tidak ada ukuran yang diikuti, tidak ada petunjuk yang membantu. Setiap orang adalah miliknya sendiri, ia bebas sekaligus sedih.
Kebebasan, tanggung jawab, kesedihan yang mendalam dan absurditas adalah tema Sartre yang muncul secara tersirat dalam semua karyanya. Puncak dari semua ini adalah pemikiran tentang kegagalan karena semua usaha manusia pasti akan mengalami kegagalan. Mengapa ? dengan kebebasannya, dengan rencana-rencana dan proyek yang ia buat untuk masa depannya, dengan sasaran-sasaran yang ia siapkan untuk dirinya sendiri, manusia mencoba menjadi makhluk yang lengkap dan sempurna; ia ingin menjadi sebab bagi keberadaannya, menjadi dasar yang sadar atas hidupnya, menjadi makhluk yang secara sadar, sengaja dan dengan bebas membuat dirinya sendiri. Tetapi hal ini tidaklah mungkin. Ia bisa menjadi penyebab dan yang disebabkan, pembentuk dan yang dibentuk, seniman dan tanah liat. Oleh karenanya kehidupan manusia adalah frustasi atau dalam bahasa Sartre ; “ Manusia adalah sebuah hasrat yang sia-sia.”
Eksistensi manusia diidentikan dengan pilihannya, dengan kebebasan dan keputusannya. Karena tanggung jawab menyeluruh dalam kebebasan ini, eksistensi banyak digambarkan dengan istilah-istilah rasa takut, kesedian yang mendalam dan diabaikan.
ADS HERE !!!