Islam membedakan
antara ibadah dan mu’amalah, dalam pelaksanaan dan
perundang-undangannya. Dasar hukum (nusus) dalam bidang ibadah bersifat
qot’i, sehingga hukum ibadah bersifat konstan, tidak melampaui apa yang
telah ditetapkan oleh syar’i dan terikat dengan cara-cara yang
diperintahkan-Nya semata-mata untuk menghambakan dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Sedangkan dalam bidang mu’amalah, nas-nasnya bersifat mujmal (global)
sehingga tata caranya menerima perubahan (adaptable), karena pokok asal
mu’amalah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupan, mata
pencaharian, dan meniadakan kesulitan mereka dengan menjauh dari batal dan
haram.
Kegiatan mu’amalah
ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek
politik, ekonomi dan sosial. Untuk kegiatan mu’amalah yang menyangkut ekonomi
meliputi kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, seperti:
jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan sebagainya.
Agama Islam telah menetapkan nilai-nilai yang membatasi dan
merupakan ukuran dalam mengembangkan perekonomian untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan hidup demi tercapainya kemaslahatan umat. Allah memerintahkan
kepada setiap hamba-Nya supaya berusaha sesuai dengan potensi yang ada pada
dirinya. Sebagaimana firman Allah SWT.
فَاِذَا قُضِيَتِ
اْلصَّلَوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى اْلاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ
وَاذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya:
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
(Al-Jumu’ah: 10)
Untuk melaksanakan kegiatan mu’amalah manusia harus saling
bekerja sama dan memberi bantuan kepada orang lain, bermu’amalah untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah
SWT.
وَتـَعَاوَنُوْا عَلَى
البِّرِ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنـُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(Al-Ma’idah:
2)
Diantara jenis kerja sama dan tolong-menolong yang telah
membudaya dikalangan masyarakat adalah pinjam-meminjam dan hutang-piutang. Bentuk
kerja sama tersebut banyak diwujudkan melalui lembaga keuangan, dan salah
satunya adalah bank.
Sering terjadinya transaksi di lembaga keuangan disebabkan
karena lembaga keuangan sangat diperlukan dalam perekonomian modern sebagai
mediatur antara kelompok masyarakat yang mempunyai dana dan kelompok masyarakat
yang memerlukan dana. Hal ini sesuai dengan fungsi dari lembaga keuangan itu
sendiri.
Menurut Subagyo, lembaga keuangan mempunyai fungsi yaitu:
- Melancarkan
pertukaran produk (barang dan jasa) dengan menggunakan uang dan instrumen
kredit.
- Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan ke masyarakat
dalam bentuk pinjaman atau dengan kata lain lembaga keuangan berfungsi
untuk menghimpun dana dari pihak yang mempunyai dana dan menyalurkan ke
pihak yang kekurangan dana.
- Memberikan
pengetahuan dan informasi, yaitu:
a. Lembaga keuangan melaksanakan tugas
sebagai pihak yang ahli dalam analisis ekonomi dan kredit untuk kepentingan
sendiri dan kepentingan pihak lain (nasabah).
b. Lembaga keuangan berkewajiban
menyebarkan informasi dan kegiatan yang berguna dan menguntungkan pihak
nasabahnya.
- Memberikan
jaminan, lembaga keuangan mampu memberikan jaminan hukum dan moral
mengenai keamanan dana masyarakat yang dipercayakan kepada lembaga
keuangan tersebut.
- Menciptakan
dan memberikan likuiditas, lembaga keuangan mampu memberikan keyakinan
kepada nasabahnya bahwa dana yang disimpan akan dikembalikan pada waktu
dibutuhkan atau jatuh tempo.
Dalam memenuhi hajat hidup, manusia dilarang merugikan
pihak lain dan diserukan tetap memelihara tali persaudaraan. Dalam Islam
manusia juga dilarang memakan harta yang diperoleh dengan cara batil (tidak
sah). Sebagaimana firman
Allah SWT.
يـَا اَيَّهَا الَّذِيْنَ أَََمَنُوْا لاَ
تَأْكُلـُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan hak sesamamu dengan jalan
bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu….(An-Nisa’:
29)
Islam sebagai agama memuat ajaran yang bersifat universal
dan komprehensif mencakup seluruh bidang kehidupan termasuk
aktivitas perbankan. Berdasarkan sistem ajaran Islam yang berkaitan dengan
perbankan, maka rujukan yang digunakan oleh perbankan syari’ah adalah fiqh
mu’amalah. Dalam teknik operasional perbankan syari’ah, murabahah dibedakan
menjadi dua yaitu: murabahah financing dan ba’i bis|aman ‘ajil
financing. Istilah ba’i bis|aman ‘ajil financing yang dipakai
perbankan syari’ah dalam produk pembiayaan dimana penjualan dengan jatuh tempo
dan pembayarannya boleh sekaligus, tetapi dapat pula dicicil sesuai dengan
kesepakatan. Adapun murabahah financing yakni penjualan dengan
pembayaran secara tunai, tetapi jarang sekali diterapkan di perbankan syari’ah.
Konsep murabahah,
berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Syuaib ar-Rumy r.a. “Tiga hal yang di dalamnya
terhadap keberkahan; pertama, menjual dengan pembayaran tangguh (murabahah),
kedua; mudarabah, dan ketiga; mencampuri tepung dengan gandum untuk
kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan”.
Jual beli murabahah
di perbankan syari’ah, dapat berisi akad jual beli antara bank selaku penyedia
barang (penjual) dengan nasabah yang memesan barang. Sistem bank ini mengambil keuntungan
dari jual beli itu sesuai dengan kesepakatan bersama selama akad belum
berakhir, maka harga jual beli tidak boleh berubah.
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi
kebutuhannya untuk memperoleh barang yang dibutuhkan tanpa menyediakan uang
tunai, sebab bank telah memberikan pembiayaan untuk pengadaan barang. Mekanisme
pembiayaan murabahah diberikan dalam jumlah yang besar kepada nasabah
untuk keperluan barang dan jangka waktu yang cukup lama.
Sesuai dengan sifat bisnis perbankan, bahwa dalam praktek
perbankan syari’ah pada pembiayaan mempunyai resiko yang akan ditanggung.
Diantara resiko yang terjadi dalam pembiayaan murabahah dari pihak nasabah
adalah adanya unsur yang tidak disengaja oleh nasabah selaku pengelola dana
dari Bank karena faktor bencana alam. Pada akhirnya menimbulkan kredit macet
yang merugikan pihak bank.
Jika karena suatu hal debitur tidak dapat membayar kredit
sebagaimana waktu yang telah disepakati karena suatu hal (misalnya terkena
bencana lumpur Lapindo) maka hukum Islam menganjurkan kreditur untuk memberi
kelonggaran waktu. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ
كَانَ ذُوْ عُسْـرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلىَ مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُـوْا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُـمْ تَعْلَمُـوْنَ
Artinya: Dan jika orang berhutang itu (debitur) dalam
kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berlapang. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(Al-Baqarah: 280)
Untuk mengantisipasi persoalan seperti itu, sesuai dengan
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 ada
beberapa kebijakan dalam penyelamatan kredit macet, yaitu: melalui rescheduling,
reconditioning, restructuring maupun eksekusi.
Walaupun sudah ada kebijakan dari BI seperti diuraikan diatas kadang-kadang ada
Bank yang memiliki jalan lain untuk menyelesaikan kredit macetnya. Hal ini
sesuai dengan situasi dan kondisi dari pihak Bank maupun pihak nasabah (lingkungan
nasabahnya) itu sendiri, seperti halnya yang terjadi pada BPRS Al-Hidayah Beji
Pasuruan.
Di sini penulis dalam menyusun skripsi
ini lebih menfokuskan pada mekanisme penyelesaian pembiayaan murabahah
yang bermasalah. Dimana pembiayaan bermasalah tersebut mengenai aset (rumah)
yang terkena lumpur Lapindo pada BPRS Al-Hidayah Beji Pasuruan.
ADS HERE !!!