Tujuan dari model terapi Granada ini adalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali teknologi medis modern baik rupa maupun bentuk. Konsep ini menambah pada teknologi medis modern dimensi hubungan dan energi yang menghidupkan kekuatan individu untuk menyembuhkan dirinya.
Tahap-tahap proses terapi yang dilakukan oleh Omar Alishah yaitu:
a) Niat
Satu hal yang sangat mempengaruhi hasil dari proses terapeutik adalah niat. Aspek ini memungkinkan keberhasilan atau tidaknya seorang terapis dalam menyelesaikan pekerjaannya sehubungan proses terapeutik tersebut. Sebab niat secara tidak langsung merupakan bagian dari transmisi positif penyembuhan Agha Menilai;
Niat dari setiap terapis adalah dan seharusnya, membantu proses penyembuhan pasien. Diantara para terapis dan pasien tidak mungkin berkompetisi, atau hasilnya bisa kematian pasien itu. Niat juga penting karena alasan lain : jika niat terapis untuk menyembuhkan seorang pasien cukup kuat, dia mentransmisikan pengaruh ekstra pada orang yang sakit, gugup, cemas atau tegang. Terapis tidak hanya
sekedar mengatakan kepada pasien, “ya, saya dapat membantu anda, saya akan berusaha menyembuhkan anda”. Niat terapis bahwa, dan jika niatnya cukup kuat berfokus pada itu, dia menstransmisikan faktor itu kepada pasien juga.
b) Wawancara
Terapi yang dicontohkan oleh Agha sehubungan dengan menggunakan pendekatan tradisi tasawuf kepada klien didahului melalui tahap wawancara ini sekalipun tidak mengadopsi dari model psikoanalisis dengan cara klien harus berbaring di atas balai-balai sedangkan terapis atau analisis berada di belakangnya, namun itu hanya sejenis pengembangan dari teknis wawancara.
Hal ini ditunjukkan dengan apa yang disarankan Agha kepada para peserta konggres mengenai tahap-tahap awal dan prosedur terapeutik.
Kita mulai dengan menggunakan jenis wawancara psikologi atau psikiatri klasik, dengan lain perkataan situasi semi medis. Pasien berbaring disana, seseorang mencatat dan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bentuknya diubah agar dapat diterima oleh pasien itu sebagai bincang-bincang. Artinya kita dapat menemui klien kita di sebuah restoran, warung kopi atau kelab malam, kita dapat berjalan-jalan di tepi sungai itu semua adalah ide yang bagus untuk mulai dengan melanggar situasi klasik baju putih, stetoskop dan bloknot.
Pada tahapan awal atau sesi wawancara, tradisi tasawuf tidak mempunyai suatu sesi yang khas atau ala tradisi. Ini menunjukkan bahwa tahapan awal hanyalah sebuah formalitas atau mengikuti formalitas yang ada, baku dan paling efektif, hanya saja beberapa penekanannya justru lebih terlihat santai sehingga prosedur terapeutik yang dilakukan oleh terapis dengan menggunakan terapi tasawuf terkesan jauh dari hal-hal yang berbau klinis atau medis. Model wawancara seperti ini bisa terlihat dalam pendekatan psikoterapi eksistensial humanistik, tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat sebagaimana psikoanalisis.
Teknik wawancara model klasik adalah selalu disesuaikan dengan tujuan sebuah terapi. Untuk mendapatkan data yang akurat, terapis harus mengemukakan terlebih dahulu aturan-aturan yang akan terjadi pada klien selama terapis berlangsung. Aturan-aturan ini tentu akan berimplikasi pada lancarnya proses terapeutik. Hal ini tidak ada dalam terapi tasawuf. Namun prinsip bahwa dalam teknik klasik ada
kode etik bahwa tugas terapis adalah memberikan perhatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh klien, sehingga tugas klien adalah menceritakan semuanya kepada terapis. Hal ini juga diadopsi oleh Agha Omar Alishah.
Seusai berbincang-bincang dengan mereka, cari topik tertentu yang dapat diperbincangkan bersama kita dan klien kita; topik itu bisa saja berburu,memancing, atau apa saja.
Penggunaan suatu topik yang dapat diperbincangkan bersama tidak lain adalah tehnik yang biasa digunakan dalam wawancara klasik. Tehnik ini adalah suatu persekutuan antara klien dengan terapis untuk melawan masalah yang dihadapi klien, penting artinya disini adalah untuk membangun rasa kepercayaan klien bahwa terapis mampu mengerti dan sanggup menghadapi masalah yang sedang diderita klien.
Terlepas dari persekutuan itu, klien juga harus menjalankan peranannya sebagai klien, sehingga dalam waktu yang bersamaan terapis mampu mengarahkan arah pembicaraan klien sesuai dengan agenda wawancara yang diinginkan terapis. Tulis Agha Omar Alisha.
Setelah itu, pertinggi antusiasme kita sendiri tentang subyek itu, banyak berbicara tentang hal itu, membawa ke hal apa saja yang kita inginkan, guna mengisi kekurangan-kekurangan pada gambar kita, bagian dari kemampuan kita tentu bagaimana kita melakukan hal ini, bagaimana cara kita membimbing mereka. Dengan cara demikian kita menemukan gambar kita dan menyempurnakannya.
Setelah mulai mempercayai atas keahlian terapis untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien, maka Agha menyampaikan bahwa terapis perlu menyampaikan baik dengan mensisipkan diantara pembicaraan atau secara langsung suatu nada yang harmonis dengan perkataan yang harmonis dengan perkataan yang bermakna ke arah positif melalui cara yang meyakinkan. Tulis Agha.
Masalahnya di sini adalah tidak banyak perubahan nada suara atau hasil nada-nada harmonis yang meyakinkan, yakni apa yang kita pilih untuk disampaikan dalam nada suara bagaimana………. Kita semua tahu bahwa dalam terapi kita memiliki kata-kata seperti : sembuh, pulih semakin sehat, dan kita mengucapkan kata-kata ini dalam nada dan cara yang meyakinkan.
Kekuatan tradisi di sini nyata-nyata telah terlihat dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang abstrak dan magis, melainkan lebih dari sekedar sebuah teknik bagaimana dalam sesi wawancara terapis juga berfungsi sebagai pembangkit energi dalam diri klien. Pertama; bahwa kata-kata positif yang diucapkan dengan nada yang benar dan dengan waktu yang tepat akan bersifat sebagai pemicu munculnyaenergi positif atau optimisme. Kedua; adalah bagaimana melakukan semuanya dengan cinta. Dalam tradisi tasawuf, cinta adalah semacam implementasi dari ikhlas. Atau sebaliknya apapun yang kita lakukan dengan cinta kita akan ikhlas. Konsep cinta dan ikhlas juga bukanlah sesuatu barang baru dalam tradisi, namun penting sekali dalam kehidupan modern saat sekarang ini untuk dimasukkan ke dalam tehnik-tehnik terapi, masalah cinta ini disinyalir oleh Agha sebagai sesuatu yang sangat langka ditemukan dalam psikologi barat. Analisis Agha Omar Alishah.
Bagi saya cinta ini adalah fakor yang absen biasa dalam pemikiran psikologi barat……., Menurut saya dasar setiap terapi adalah seimbang terhadap pasien, jika kita padukan dua unsur itu, kita akan secara omatis mengembangkan sebuah sikap dan tehnik yang baik terhadap pasien dan problem-problemnya.
Frankl sejalan dengan pendapat Agha mengenai pola mengintegrasikan cinta ke dalam proses terapi, hal ini diungkapkan sendiri oleh Frankl.
Dengan bertindak secara spiritual dalam cinta dia dapat melihat ciri-ciri dan bentuk esensial pada orang yang dicintai; atau lebih dari pada itu, dia melihat apa yang potensial dari dalam dirinya; yang belum teraktualisasikan tetapi harus diaktualisasikan. Karena dengan cintanya, seseorang yang sedang mencintai dapat menjadikan orang yang dicintainya mengaktualkan potensi-potensi.
Seseorang terapis harus mampu mencintai klien serta melakukan terapeutik berdasarkan cinta. Dari situlah penyembuhan dapat dimulai dengan baik, tanpa cinta, mustahil sebuah awal yang baik dalam proses penyembuhan dapat terjadi.
Setelah melakukan wawancara awal, proses berikutnya adalah asosiasi bebas, beberapa mengenai asosiasi bebas ini dalam terapi Granada telah disebutkan pada bagian wawancara awal. Hal kemudian yang juga digunakan Agha dalam terapi Granadanya adalah penafsiran. Dalam kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh terapi Granada, Agha menulis :
Keahlian dan kemampuan kita adalah mengidentifikasi orang semacam itu dengan reaksi mereka, dan memberikan terapi kepada mereka yang tidak menyerupai suatu terapi. Kita sesungguhnya meminta mereka untuk membantu kita memeriksa problem mereka, apa yang kita minta mereka untuk melakukan itu adalah melibatkan diri dalam suatu proses kerjasama.
Proses berikutnya adalah analisis dan penafsiran resistensi. Ada hal lain yang diberikan oleh Agha sehubungan dengan teknik tersebut.
Ketika mereka datang kepada kita dan mereka telah diberi kita menyebutnya kebiasaan Freud, jung, dan Schopenhaur oleh karena itu, mereka klien telah mengembangkan apa yang kita sebut pertahanan diri.
Menanggulangi ini bisa jadi sulit, dan beberapa kasus sangat sulit, akan tetapi trik atau tekniknya adalah memperkenalkan diri kita tidak sebagai “terapis” melainkan sebagai orang biasa …… Akan tetapi kasus yang paling berat yang kita hadapi khususnya menangani gangguan psikologis adalah orang-orang yang telah mengembangkan resistensi terhadap terapi.
Pertama untuk mengantisipasi terjadinya resistensi secara berlarut-larut, pola wawancara diganti. Dalam hal ini kasus tersebut Agha lebih menyukai untuk secara “transparan” terapis harus memposisikan dirinya bukan lagi sebagai terapis, namun orang biasa. Setelah terapis dapat memasukkan jenis energi positif kepada klien untuk dapat terbuka dan cepat sembuh.
Kita harus dapat mengatakan kepada mereka dengan jelas sejak awal, Anda datang kepada saya untuk meminta bantuan. Saya dapat membantu anda, tetapi saya harus menyatukan energi anda dengan saya untuk mencapai ini, sehingga akhirnya anda dapat pergi melepaskan diri dari saya dan menjadi pulih, riil,
sehat dan balans tanpa berhubungan dengan saya terus menerus” kita membantu mereka untuk menciptakan satu kepribadian yang tak tergantung kepada kita.
Dimungkinkan sekali dalam buku ini, Agha tidak menspesifikasikan pada persoalan gejala gangguan kejiwaan semata, melainkan juga membahas tentang proses terapi bagi penderita fisik penilaian penting terungkap disini bahwa tradisi menunjukkan suatu hal yang benar-benar istimewa terhadap eksistensi terapi-terapi di luar tradisi. Sekalipun Anatolio Friedbeg memberikan pengantar pada buku ini bahwa konsep-konsep terapi tasawuf hanyalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali teknologi medis modern, Agha juga memberi semacam ketegasan mengenai keterlibatan terapi-terapi yang akan dilakukan.
Setiap bagian terapi, warna musik, bedah osteopatik, atau apapun mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ini bukan kompetisi atau seharusnyapun tidak. Jika seseorang menjalani pembedahan dan ditempatkan dalam lingkungan yang positif sesudahnya untuk pemulihan kesehatan, ini mungkin mempunyai peran yang sedikit lebih penting untuk dimainkan. Akan tetapi ini jangan atau seharusnya jangan menjadi sumber friksi atau perdebatan diantara tim. Prioritas untuk menggunakan suatu teknik pada seseorang pasien tergantung pada keadaan fisik dan mental pasien itu.
Penegasan Agha Omar Alishah tersebut sedikit memberikan bahwa tidak ada suatu terapi tunggal yang mampu mengobati pasien hingga sembuh. Dalam konteks kejiwaan, sekalipun klien telah melewati proses-proses terapi namun perbaikan yang diperoleh hanyalah bersifat sementara.
Ada banyak teknik tapi tak satupun dari teknik ini berhasil secara sempurna. Teknik-teknik itu dapat membawa perbaikan sementara, tapi setelah itu pasien membutuhkan orientasi lain, teknik tunggal untuk menangani pasien yang mengalami gangguan psikologi yang dapat digunakan untuk setiap bentuk
kejiwaan jelas tidak ada, sebab teknik tergantung pada jenis penyakit yang bersangkutan.
Penegasan tersebut adalah untuk menjawab kegelisahan seorang terapis peserta konggres yang merasa bahwa setiap kali terapis tersebut bekerja pada awalnya klien selalu dapat terbuka setelah mengalami terapi pertama, setelah itu klien menutup diri kembali. Hal ini membuktikan bahwa dalam tiap tahap terapi, teknik yang digunakan oleh seorang terapis tidak mutlak menggunakan teknik tunggal. Senada yang sama ditulis oleh Gerald Corey.
Para terapis yang berorientasi psikoanalitik dapat menggunakan metode-metode penafsiran mimpi, asosiasi bebas, analisis resistensi – resistensi dan transferensi, juga menangani hubungan masa lampau kliennya, tetapi pada saat yang sama mereka bisa menggabungkan sumbangan-sumbangan dari aliran lain, khususnya dari para neufreudian yang menekankan faktor-faktor social budaya dalam perkembangan kepribadian.
Dapat disebutkan disini bahwa Agha Omar Alishah menganut teknik penggabungan yang disesuaikan dengan tahapan terapi maupun kondisi terapi. Satu hal yang nampak seperti naif dalam pendapat Agha adalah persoalan pandangan manusia modern – barat, mengenai otak yang identik dengan prinsip-prinsip dasar psikologi barat. Sekalipun beberapa aliran psikologi pertama seperti psikoanalisa sangat meremehkan eksistensi manusia dan hanya dengan menganalisis jaringan syaraf serta otak seluruh gejala-gejala tingkah laku dan gangguan manusia dapat diketahui maupun disembuhkan, namun beberapa aliran lain seperti humanisme dan transaksional justru memandang sebaliknya. Komentar Agha :
Di Barat, kendati dengan kemajuan teknologi modern orang tidak benar-benar tahu apa itu otak, maka jika kita bekerja dengan sesuatu yang kita tidak ketahui seratus persen, upaya kita akan selalu meragukan.