Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju peri kehidupan yang Islami. Suatu proses yang berkesinambungan adalah suatu proses yang bukan insidental atau kebetulan, melainkan benar-benar direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara terus menerus oleh para pengemban dakwah sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, sudah bukan waktunya lagi bahwa dakwah dilakukan asal jalan, tanpa sebuah perencanaan yang matang, baik menyangkut materinya, tenaga pelaksananya, ataupun metode yang digunakan.
Berkaitan dengan keterangan tersebut, perlu dakwah Islam dengan jalan menciptakan sebanyak mungkin sarana yang ada, disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta perubahan sosial yang terjadi, baik dalam pola pikir maupun pola kerja agar Islam tetap berkesan utuh, lengkap, dan harmonis. Oleh karena itu sarana yang ada haruslah dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan sebagai sarana dakwah.
Dakwah seyogyanya melihat apa yang menjadi kebutuhan umat Islam. Dakwah di tengah masyarakat intelektual dalam arti tingkat SDM nya cukup tinggi maka dakwah harus bersifat rasional terlebih lagi bila mad'unya berdiri di atas paham yang serba sekuler. Demikian pula dakwah di tengah perkotaan akan berbeda dengan dakwah di kampung-kampung yang kebetulan mad'unya kakek-kakek dan nenek dengan SDM yang lemah maka dakwah sepantasnya tidak terlalu mengandalkan logika dan filosofis. Di tengah-tengah masyarakat yang terbilang awam tentunya akan tepat jika dakwah berupa kisah-kisah yang menarik dan tidak banyak membutuhkan rasio dalam mencerna isi dakwah.
Pada dasarnya dakwah merupakan seruan agama, seruan tersebut mempunyai maksud dan tujuan yaitu untuk mengubah masyarakat sasaran dakwah ke arah lebih baik dan lebih sejahtera, lahiriah maupun batiniah baik secara individu maupun kelompok. Agar tujuan tersebut tercapai secara efektif, maka para penggerak dakwah harus mengorganisir segala komponen dakwah secara tepat dan salah satu komponen itu adalah dari unsur medianya.
|
Ustadz Jefri Al Bukhori |
Dalam memahami esensi dari makna dakwah, kegiatan dakwah sering dipahami sebagai upaya memberikan pemecahan masalah dan penyelesaiannya. Masalah tersebut mencakup seluruh aspek meliputi: ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, sains, dan teknologi. Untuk itu dakwah harus dikemas dengan cara atau metode yang pas, atau meminjam istilah dari Yunan Yusuf bahwa dakwah harus dilakukan secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti memecahkan masalah yang kekinian yang hangat di tengah masyarakat, faktual dalam arti konkrit yang nyata, serta kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut problem yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Sampai sekarang media dakwah terus mengalami perkembangan, sejalan dengan teknologi yang semakin pesat, seperti munculnya internet, televisi, vcd, mp3, selluler, radio, majalah, dan sebagainya, yang memberikan kemudahan untuk menyampaikan sesuatu informasi dalam waktu yang singkat dan jangkauannya yang luas, sehingga efektif dan efisien.
Hal inilah yang sekarang banyak dimanfaatkan oleh para ulama untuk dijadikan sebagai media dakwah; dengan bertumpu pada azas efektifitas dan efisiensi, di mana di dalam suatu aktivitas dakwah harus berusaha menseimbangkan antara biaya waktu maupun tenaga yang dikeluarkan dengan pencapaian hasilnya, bahkan kalau bisa waktu biaya dan tenaga sedikit dapat memperoleh hasil yang semaksimal mungkin.
Islam adalah agama yang rahmatan li al-‘alamin yang berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk menyampaikannya ada beberapa macam metode diantaranya bil khal dan bil lisan. Bil khal menitikberatkan pada keteladanan dan tindakan, sedangakan bil lisan menitikberatkan pada pengajaran, pendidikan melalui ucapan, baik lisan maupun tulisan; yang salah satu bentuknya adalah metode ceramah.
Secara historis, dakwah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, setelah diturunkannya wahyu yang memerintahkan untuk berdakwah secara terang-terangan. Di mana pada mulanya dakwah secara sembunyi-sembunyi hanya ditujukan untuk keluarga terdekatnya saja, lalu turun perintah supaya dakwah dilakukan secara terang-terangan, hal ini terjadi tepatnya setelah turun wahyu pada tahun ketiga kerasulannya, yang berbunyi “Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang terdekat, limpahkan kasih sayang kepada orang-orang yang beriman yang mengikuti engkau, katakanlah Aku lepas tangan dari segala pebuatanmu”.
Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menggunakan metode dan dengan aplikasi yang tepat serta sesuai dengan kondisi umat. Karena itu dalam waktu yang relatif singkat yaitu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari atau digenapkan 23 tahun telah berhasil menorehkan sejarah yang menakjubkan dengan perubahan akhlak manusia dari mazmumah (buruk) menuju akhlak mahmudah (terpuji). Karena itu tidak heran pernyataan orientalis, Michael H. Hart yang mengatakan:
Sebuah contoh yang mencolok mata tentang hal ini ialah tata urutan (rangking) yang saya susun yang menempatkan Muhammad lebih tinggi daripada Jesus (Isa), terutama disebabkan karena keyakinan saya bahwa Muhammad secara pribadi jauh lebih berpengaruh pada perumusan agama yang dianut orang Islam, daripada Jesus pada perumusan agama Kristen. Jatuhnya pilihan saya kepada Muhammad untuk memimpin di tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia ini, mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula dipertanyakan oleh yang lain, namun dia memang orang satu-satunya dalam sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang keduniaan.
Sejalan dengan keberhasilan Rasululullah SAW dalam berdakwah, seorang pemuda yang telah malang melintang dalam kehidupan gemerlap, glamour dan sempat ketergantungan dengan barang terlarang (narkotika) yaitu Jefri al-Bukhori merupakan salah satu ulama yang menggunakan aktivitas hidupnya untuk berdakwah. Ia seorang ulama yang mendapat penilaian publik sebagai da'i "gaul" yang mampu membaca situasi dan kondisi mad'u. Kemampuan tersebut dapat disimak dari bentuk-bentuk metode dakwah yang ia sampaikan sehingga mampu membangun simpati publik.
Secara konkrit dakwahnya dapat disimak di beberapa tempat di antaranya seperti di Jakarta. Di ibukota ini aktivitasnya dapat disimak seperti di Masjid Istiqlal, Masjid al-Ikhlas (Rawamangun), Masjid at-Taqwa (Grogol), Masjid an-Nuur (Proyek Senen), Masjid as-Syifa (Jalan Rumah Sakit Fatmawati), dan sering medapat undangan untuk memberikan ceramah pada pengajian umum. Di samping itu, ia juga memberikan ceramah yang ditayangkan oleh berbagai statsiun televisi seperti RCTI, SCTV, Indosiar dan TPI.
Berdasarkan keterangan tersebut, problem yang hendak diangkat yaitu apakah aktivitas dakwah Jefri al-Bukhori sesuai dengan bentuk-bentuk metode dakwah Rasulullah SAW? Urgen masalah ini karena dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kenyataan bahwa tata cara memberikan sesuatu lebih penting dari sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan dengan cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih terasa enak disantap ketimbang seporsi makanan lezat, mewah dan mahal harganya, tetapi disajikan dengan cara kurang ajar, tidak sopan dan menyakitkan hati orang yang menerimanya.
Gambaran tersebut membersitkan ungkapan bahwa tata cara atau metode lebih penting dari materi, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan Al-Thariqah ahammu min al-Maddah. Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah. Betapa pun sempurnanya materi, lengkapnya bahan dan aktualnya isu-isu yang disajikan, tetapi bila disampaikan dengan cara yang sembrono, tidak sistematis dan serampangan, akan menimbulkan kesan yang tidak menggembirakan. Tetapi sebaliknya, walaupun materi kurang sempurna, bahan sederhana dan issu-issu yang disampaikan kurang aktual, namun disajikan dengan cara yang menarik dan menggugah, maka akan menimbulkan kesan yang menggembirakan.