Untuk hukum perdata, kami batasi lingkupnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) saja.
Menurut (R. Soetojo Pramirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1974:35) sebenarnya istilah “batalnya perkawinan” itu tidaklah tepat. Akan lebih tepatnya kalau dikatakan “dibatalkannya perkawinan”, sebab bilamana perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syaratnya maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka hakim. Kalau demikian istilahnya bukan nieteg (batal), melainkan vernietigbaar (dapat dibatalkan).
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 dikatakan bahwa „Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan‟. Pembatalan perkawinan adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah perkawinan itu tidak pernah dianggap. Pembatalan itu sendiri berasal dari kata „batal yang artinya menganggap tidak sah, tidak pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau tidak pernah dianggap ada.
Batalnya perkawinan itu sendiri diatur dalam Pasal 22-Pasal 28 UU Perkawinan, sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana disebut dalam Pasal 23 sebagai berikut:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UU No. 1 tahun 1974). Jadi instansi pemerintah atau lembaga lain di luar pengadilan atau siapapun juga tidak berwenang untuk menyatakan batalnya suatu perkawinan. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam dan pengadilan umum bagi lainnya (Pasal 63 UU No. 1 tahun 1974). Pada umumnya lembaga pembatalan perkawinan ini hanya melembaga bagi mereka para penganut agama perkawinannya berasas monogami tertutup.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan Pasal 28 ayat (1). Dalam peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mengatur lebih lanjut mengenai beberapa masalah penting yang berkaitan erat dengan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 yang di dalam penjelasannya diuraikan dengan mengingat bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.
|
Hukum Perdata |
Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat.
Sebelum membahas mengenai pengertian pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, kita perlu tahu apa itu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketika menyusun Kompilasi Hukum Islam, para penyusunnya tidak secara tegas memberikan pengertian dari Kompilasi Hukum Islam tersebut. Akan tetapi, setelah mempelajari rencana dan proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam dimaksud, H. Abdurrahman SH (pakar ilmu hukum Indonesia kontemporer) menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fiqh yang bisa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.
Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi (Harun, 2001:968) Jadi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa
Menurut Kompilasi Hukum Islam, istilah yang digunakan “batal” atau “dapat dibatalkan” atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa “batal demi hukum” atau “dapat dibatalkan”. Suatu perkawinan batal demi hukum diatur dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, sedangkan suatu perkawinan dapat dibatalkan diatur dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi hukum Islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga membahas permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan Pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan.
Adapun mengenai pihak mana yang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengenai pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang;
Batalnya perkawinan dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari‟atkan dalam syari‟at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.
Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kedudukan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
ADS HERE !!!