Era globalisasi saat ini perusahaan dihadapkan pada tuntutan masyarakat yang semakin kompleks sehingga dalam menjalankan operasinya, perusahaan harus mampu mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholder) seperti kreditur, pemasok, konsumen, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas. Terlebih lagi dengan kondisi perekonomian Indonesia yang seakan tiada henti dilanda guncangan, memaksa perusahaan untuk segera beradaptasi dengan meningkatkan nilai tambah dan kinerja perusahaan sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini merupakan dasar bagi perusahaan dalam mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap kinerja, pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan dimasa yang akan datang dan berkaitan dengan efisiensi perusahaan yang bersangkutan.
Perusahaan pembiayaan (leasing) sebagai lembaga yang memberikan berbagai fasilitas pada masyarakat yaitu berupa pemberian pembiayaan/kredit kendaraan bermotor, kredit perumahan dan barang-barang modal, maka diperlukan lembaga pembiayaan dengan kinerja keuangan yang sehat, sehingga fungsi tersebut (menyalurkan dana) dapat berjalan lancar. Selain dengan rasio keuangan, kinerja dapat diukur dengan analisis tingkat efisiensi, karena dengan rasio keuangan saja masih belum cukup. Rasio keuangan hasil yang diperoleh hanya akan menggambarkan posisi keuangan saja, tidak untuk menunjukkan seberapa besar sumber daya (input) perusahaan yang digunakan dalam upaya untuk mendapatkan hasil kerja (output) yang bermanfaat bagi perusahaan tersebut.
Krisis keuangan global tahun 2008 lalu mempunyai dampak yang serius terhadap perekonomian Indonesia. Perusahaan pembiayaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tentunya tak lepas dari dampak tersebut. Krisis keuangan yang dialami oleh perusahaan yang berkelanjutan dan tidak segera ditangani akan mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistim keuangan. Shareholder bisa menarik sahamnya terhadap perusahaan tersebut, atau mungkin kepercayaan para pemberi kredit akan menurun dengan krisis keuangan yang mengancam perusahaan bersangkutan. Kondisi seperti ini apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan insolvency terhadap perusahaan dan akan memperbesar potensi kebangkrutan.
Hasil kajian Bank Indonesia (2013), menunjukkan bahwa secara nominal, aset PP masih meningkat dengan peningkatan asetnya sebesar Rp 17,44 triliun dibandingkan dengan semester sebelumnya, yaitu dari Rp 342 triliun menjadi Rp 359 triliun yang berasal dari peningkatantipis yang berasal pada kegiatan pembiayaan, pendanaan dan peningkatan modal. Pada pertengahan semester I 2013, terjadi penurunan aset yang disebabkan oleh tutupnya sebuah perusahaan pembiayaan yaitu Pan Multifinance. Sebagaimana diketahui pembiayaan konsumen pada perusahaan pembiayaan masih tetap mendominasi kegiatan penyaluran pembiayaan dengan porsi penyaluran pembiayaan terbesar pada pembiayaan pada segmen otomotif karena proses persyaratan kredit yang sangat mudah yaitu persyaratan collateral yang lebih rendah dibandingkan dengan persyaratan kredit perbankan dan juga upaya pemasaran lebih luas.
Kondisi tersebut dapat memicu munculnya masalah credit default terkait dengan kemudahan memperoleh pembiayaan tersebut. Pembiayaan perusahaan pembiayaan dari segmen pembiayaan konsumen selama semester I tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp18 triliun dibandingkan dengan semester II 2012, yaitu dari Rp192 triliun menjadi Rp 210 triliun. Porsi pembiayaan konsumen pun meningkat dibanding semester sebelumnya dari 63,5% menjadi 65,4% dari total pembiayaan. Namun secara keseluruhan, trend total pembiayaan dari perusahaan pembiayaan cenderung terus menurun selama semester I tahun 2013.
|
Saham turun |
Turunnya pertumbuhan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan memberikan dampak yang cukup signfikan terhadap capaian kinerja keuangan perusahaan. Menurut Tempo.Co, laba perusahaan pembiayaan atau multifinance tahun 2013 kemungkinan tak akan tumbuh sebaik tahun lalu., salah satu penyebabnya adalah disparitas bunga. Bunga kredit dari bank ke perusahaan pembiayaan lebih tinggi dibanding bunga yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada kliennya. Perbankan sudah menaikkan bunga, sedangkan perusahaan pembiayaan belum bisa menaikkan bunga seperti di perbankan. Perusahaan pembiayaan tetap menawarkan bunga pada kisaran 4 persen-an meski kondisi perekonomian sudah berubah. Seperti diketahui, suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate sudah naik 1,5 persen dari 5,75 persen menjadi 7,25 persen. Nilai tukar rupiah juga sudah terdepresiasi ke kisaran Rp 11.500-an, akibatnya ada peningkatan cost yang tinggi dari perusahaan pembiayaan. (Tempo.Co Bisnis , November 2013).
Evaluasi kinerja keuangan perusahaan pembiayaan dalam hal ini sangat penting bagi perusahaan untuk mengetahui apakah kinerja keuangan telah mencapai hasil yang telah ditargetkan, sehingga perusahaan dapat mencapai laba yang maksimal, menaikkan harga saham di bursa efek atau yang paling penting yaitu mengurangi risiko kebangkrutan. Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11-17% dari nilai perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedangkan contoh biaya kebangkrutan yang tidak langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadilan. Apabila manajemen bias mendeteksi kebangkrutan ini lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.
Informasi tentang prediksi kebangkrutan sangat penting karena akan memberikan keuntungan banyak pihak, terutama kreditur dan investor. Badan usaha ketika mengajukan pernyataan kebangkrutan, seringkali perusahaan kehilangan bagian dari nominal hutang dan bunganya. Kebangkrutan bagi investor akan mempunyai konsekuensi berkurangnya suatu ekuitas atau bahkan hilangnya ekuitas secara keseluruhan. Perusahaan sendiri dalam proses kebangkrutan akan menanggung biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu dengan mengetahui indikator kebangkrutan sejak dini akan menyelamatkan banyak pihak yang terkait dengan perusahaan.
Rasio keuangan merupakan salah satu informasi yang dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kinerja perusahaan. Teknis yang digunakan dalam analisis kebangkrutan perusahaan salah satunya adalah dengan menggunakan analisis diskriminan yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dan menggunakan metode Z-Score. ZScore. Analisis Z Score adalah suatu alat yang digunakan untuk meramalkan tingkat kebangkrutan suatu perusahaan dengan menghitung nilai dari beberapa rasio lalu kemudian dimasukan dalam suatu persamaan diskriminan. Informasi Analisis Z Score juga berfungsi bagi investor untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan dan 3 tingkat kesehatan keuangan perusahaan, agar tujuan investasi untuk menghasilkan laba dapat tercapai. Maka dari itu pengetahuan tentang kinerja keuangan perusahaan sangat penting.
Saham menarik bagi investor karena berbagai alasan. Diantaranya untuk mendapatkan kekayaan besar (capital gain) dengan relatif cepat, dan memberikan penghasilan berjalan (dividen). Sifat dasar investor saham adalah memberikan peran serta bagi investor dalam laba perusahaan. Pemegang saham adalah pemilik residual dari perusahaan. Artinya : mereka berhak atas bagian penghasilan perusahaan hanya setelah seluruh kewajiban perusahaan dipenuhi, dan tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh hasil investasi.
Untuk mengurangi resiko saham dibutuhkan informasi yang aktual, akurat dan transparan. Para investor dalam melakukan transaksi jual beli saham tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor mikro perusahaan dan faktor makro perusahaan. Faktor mikro perusahaan (internal) yang mempengaruhi transaksi perdagangan saham antara lain : harga saham, tingkat keuntungan yang diperoleh, tingkat resiko, kinerja perusahaan dan corporate action yang dilakukan perusahaan tersebut. Sedangkan faktor makro perusahaan (eksternal) adalah tingkat perkembangan inflasi, nilai tukar atu kurs rupiah, keadaan perekonomian, dan kondisi sosial politik negara yang bersangkutan. Informasi keuangan sebagai instrumen data akuntansi diharapkan mampu menggambarkan realita ekonomi.
Pada dasarnya, saham dapat digunakan untuk mencapai tujuan investasi utama, yaitu sebagai gudang nilai, berati investor mengutamakan keamanan prinsipal, sehingga mereka akan mencari saham blue chips dan saham nonspekulatif lainnya. Selain itu pula untuk pemupukan modal, berarti investor mengutamakan invetasi jangka panjang, sehingga mereka akan mencari saham pertumbuhan untuk memperoleh capital gain atau saham penghasilan untuk mendapatkan dividen serta sebagai sumber penghasilan, berarti mereka akan mencari saham penghasilan yang bermutu-baik dan hasil tinggi.
Harga saham adalah nilai suatu saham yang mencerminkan kekayaan perusahaan yang mengeluarkansaham tersebut, dimana perubahan atau fluktuasinya sangat ditentukan oleh penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar bursa. Semakin banyak investor yang ingin membeli saham maka harganya akan semakin naik, sebaliknya semakin banyak investor yang ingin menjual saham maka harganya akan semakin menurun.
Faktor lain yang diasumsikan dapat mempengaruhi harga saham adalah prediksi kebangkrutan, hal ini ditunjukkan oleh penelitian Irsyad Nurdin (2010) yang menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari prediksi kebangkrutan terhadap harga saham. Penelitian prediksi kebangkrutan dalam kaitannya dengan harga saham juga dilakukan oleh Handojo (2001) yang menunjukkan rasio-rasio keuangan Attman seperti WC/TA, RE/TA dan rasio EBIT/TA masing-masing berpengaruh terhadap harga saham. Ubaidillah Roykhan (2011) dalam penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh antara prediksi kebangkrutan menggunakan Z-Score terhadap harga saham perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, meskipun nilai yang dihasilkan melalui koefisien determinasi sebesar 0,07%. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Agus Haryanto (2008) yang menunjukkan bahwa prediksi kebangkrutan dengan metode Altman Z-Score tidak berpangaruh terhadap harga saham.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Irsyad Nurdin (2010); Handojo (2001) dan Ubaidillah Roykhan (2011) perbedaannya terletak pada lokus penelitian dimana dalam rencana penelitian ini penulis memfokuskan pada perusahaan pembiayaan dengan anggapan bahwa sub sektor pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank. Ketergantungan multifinance pada bank sangat rentan terhadap risiko di saat tingginya suku bunga.