Koordinasi merupakan suatu aturan yang mengatur mengenai kerjasama dari tiap-tiap lembaga agar dapat bekerja dengan baik sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga keuangan yang ada di Indonesia, dan untuk tetap menjaga stabilitas sistem perbankan, maka di dalam UU OJK mengatur harus adanya hubungan kerjasama ataupun koordinasi dengan lembaga lain. Koordinasi yang diatur dalam UU OJK yaitu koordinasi antara OJK dengan LPS dan Bank Indonesia dalam hubungan kelembagaan yang terintegrasi.
Dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan, OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementrian Keuangan, dan LPS melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (yang selanjutnya disebut FKSSK). Koordinasi yang dilakukan OJK melalui FKSSK dalam rangka menunjang tugas dan wewenang masing-masing lembaga.
OJK berkoordinasi dengan BI dalam rangka penanganan bank bermasalah. OJK dan BI membuat peraturan pengawasan dalam pemenuhan modal minimum bank, produk-produk perbankan serta sistem informasi perbankan yang terbentuk secara terpadu. BI dalam pelaksanaan wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus terhadap suatu bank tertentu wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan suatu bank.
OJK juga berkoordinasi dengan LPS terhadap suatu bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Bentuk koordinasi yang dilakukan antara OJK dengan LPS adalah berupa informasi-informasi berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK. LPS juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya yang didahulukan dengan dikoordinasikan bersama OJK.
Selain itu, OJK juga berkoordinasi dengan :
a. BI dan LPS untuk melakukan pengawasan bersama dalam rangka mendukung tugas dan wewenang masing-masing lembaga, serta membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi untuk mendukung kegiatan tersebut serta melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap stabilitas sistem keuangan;
b. Penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum;
c. Menteri Keuangan, BI dan LPS untuk mencegah dan menangani kondisi krisis berdasarkan peraturan perundangan mengenai jaring pengaman sistem keuangan;
d. Otoritas Pengawas Perbankan, Pasar Modal negara lain serta organisasi atau lembaga internasional lainnya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK maka peran serta BI sebagai pengawasan perbankan akan hilang dan Bank Indonesia akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter (macroprudential). Implikasinya adalah bahwa fungsi pengaturan dan pengawasan sistem jasa keuangan lingkup microprudential diserahkan kepada OJK, sedangkan BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter dan pengawasan lingkup macroprudential. Lahirnya OJK merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, UU LPS menjadi dasar pembentukan LPS. Tujuan dari pembentukan LPS adalah untuk melindungi nasabah penyimpan, sehingga nasabah penyimpan masih mempercayakan dananya untuk disimpan di bank.
OJK, LPS, dan BI merupakan lembaga independen yang sama-sama mempunyai peran, tujuan, tugas, dan wewenang dalam upaya menjaga kestabilan sistem keuangan di Indonesia. OJK dan LPS mempunyai fungsi masing-masing yang telah ditentukan berdasarkan undang-undang. Berdasarkan Bab X Pasal 39-43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dijelaskan bahwa OJK, LPS, dan Bank Indonesia mempunyai hubungan kelembagaan dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Dengan adanya koordinasi antara 3 lembaga tersebut, terdapat upaya dalam penanganan bank bermasalah di dalamnya.
Sumber:
1. Pasal 39, 40 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK
2. Pasal 41, 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK
3. Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanggal 4 september 2014, hal.23-24.