Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia terutama di dunia pendidikan, sebagai tokoh yang mempunyai jiwa pejuang yang tidak kenal kata menyerah, sebagai seorang pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya, sebagai seorang yang kritis terhadap dunia pendidikan, yang telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang pejuang, pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.
Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ia memang dikenal sebagai penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara secara pribadi, tiga semboyan beliau yang fenomenal terasa mampu menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan pendidikan karakter di Indonesia yakni: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangu semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan atau pihak-pihak yang dipimpinnya. Oleh karena itu, pendidikan Tamansiswa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara ini didasarkan atas prinsip atau slogan diatas, karena seorang guru atau pun orang tua harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri handayani, akan memberikan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap didampingi.
Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan keteladanan (budi pekerti) sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan yang tidak hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani tanpa diimbangi dengan keteladanan (budi pekerti) dapat berdampak buruk terhadap perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang sombong dan durjana. Secara mendalam Ki Hadjar Dewantara tidak sepakat dengan system pendidikan yang diwariskan oleh kolonial belanda, orientasi pada pendidikan warisan tersebut hanya pada segi kognitif (penalaran) tanpa melihat dari segi yang lain, yaitu pendidikan keteladanan (budi pekerti/akhlak) sehingga produk yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tersebut adalah lahirnya manusia yang sombong, tidak mempunyai perangai yang baik, sedangkan pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan teladan (akhlak). Dengan keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa.
|
Ki Hajar Dewantara |
Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan akan tetapi bagaimana peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Sehingga peserta didik yang nantinya menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain.
Ki hajar dewantara mempunyai status sebagai pejuang bangsa, pendidik dan pemimpin rakyat, berikut setting Sosial Ki Hajar Dewantara:
1) Ki Hajar Dewantara sebagai Pejuang Bangsa Kekurangberhasilannya dalam menempuh pendidikan tidaklah menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Akhirnya perhatiannya dalam bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan Ki Hajar diberhentikan oleh Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung untuk membantu Douwes Dekker dalam mengelola harian De Expres. Tulisan demi tulisan terus mengalr dari penanyadan puncaknya adalah Sirkuler yang menggemparkan pemerintahan Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was” ! Andaikan aku seorang Belanda ! tulisan ini pula yang mengantar Ki Hajar ke pintu penjara pemerintahan Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangun Kusumo dan Douwes Dekker diasingkan ke negeri Belanda.
Pada tanggal 30 Juli 1913 Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, seakan keduanya yang paling berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel yang terpisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Sampai pada putusan pemerintahan Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 Nomor: 2, ketiga orang tersebut diinternir, termasuk Douwes Dekker. Dalam perjalanan pengasingannya Ki Hajar menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan judul: “Vrijheidsherdenking end Vrijheidsberoowing.” Peringatan kemerdekaan dan perampasan kemerdekaan. Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow” tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala.
Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara tetap aktif dalam berjuang. Oleh partainya Ki Hajar diangkat sebagai sekretaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indisch Partij) di
Semarang, dan berbagai jabatan-jabatan lain yang membuatnya semakin melambung di bidang intelektual. Dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh dari pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Melalui bidang pendidikan inilah Ki Hajar berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
2) Ki Hajar Dewantara sebagai Pendidik
Reorientasi perjuangan Ki Hajar Dewantara dari dunia politik ke dunia pendidikan mulai disadari sejak berada dalam pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mulai tertarik pada masalah pendidikan, terutama terhadap aliran yang dikembangkan oleh Maria Montessori dan Robindranat Tagore. Kedua tokoh tersebut merupakan pembongkaran dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia baru.
Ki Hajar Dewwantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidakhanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan tersebut, Ki Hajar menggunakan metode “Among” yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).
3) Ki Hajar Dewantara sebagai Pemimpin Rakyat
Sebagai seorang pemimpin, Ki Hajar menggunakan teori kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang telah berkembang dalam masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang demokrat yang sejati, tidak senang pada kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin yang mengandalkan kekuasaannya. Beliau selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dengan sikap yang arif beliau menerima segala kekurangan dan kelebihan orang lain, untuk saling mengisi, memberi dan menerima demi sebuah keharmonisan dari lembaga yang dipimpinnya.
4) Ki Hajar Dewantara sebagai Budayawan
Teori pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan sera nilai-ilai yang terkandung dan digali dari masyarakat dilingannya. Dengan teori “Trikon” nya Ki Hajar Dewantara, berpendapat:
“bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan dari kelajutan dari budaya sendiri (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, diserta sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya.”
Selektif adaptatif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut harus memilih yang baik dalam rangka usaha memperkaya kebudayaan sendiri, kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan pancasila sebagai tolak ukurnya. Semua nilai budaya asing perlu diamati secara selektif. Manakala ada unsur kebudayaan yang bisa memperindah, memperhalus, dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak. Nilai kebudayaan yang sudah kita terima kemudian perlu disesuaikan dengan kondisi dan psikologi rakyat kita, agar masuknya unsur kebudayaan asing tersebut dapat menjadi penyambung bagi kebudayaan nasional kita.
Demikian luas dan intensnya Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan dan mengambangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itu, M Sarjito Rektor Universitas Gajah Mada menganugerakan gelar Doctor Honoris Causa (DR-Hc) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara paa saat Dies Natalis yang ketujuh tanggal 19 Desember 1956. Pengukuhan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Soekarno
Sumber:
1. Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa, (Yogyakarta: MLPTS, 1992), h.303.
2. Ki Hariyadi, Dip. A. Ed., Sistem Among dari Sistem Pendidikan Ke Sistem Sosial, (Yogyakarta: MLPTS, 1989), h.42.