Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah Sirah, termasuk daerah Negeri Sungai batang yang konon sangat indah pemandangan alamnya, pada hari Ahad petang malam senin, tanggal 13 masuk 14 Muharram 1326 H., atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga ulama DR. Haji Abdul Karim Amrullah. Bayi laki-laki itu diberi nama “Abdul Malik”; nama itu di ambil DR. Haji Abdul Karim Amrullah untuk mengenang anak gurunya, Syekh Ahmad Khathib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik pula. Abdul Malik bin Syekh Ahmad Khathib ini pada zaman pemerintahan Syarif Husain di Mekkah, pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir, barangkali dimaksudkan sebagai do’a nama kepada penyandangnya. Pada tahun 1941 ayah diasingkan belanda ke sukabumi karena fatwa-fatwa yang dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Beliau meninggal di Jakarta tanggal 21 juni 1945, dua bulan sebelum Proklamasi. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah tanjung binti Haji Zakariya (W. 1934). Ayah dari ibu itu bernama gelanggang gelar bagindo nan Batuah. Di kala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Di waktu masih kecil Hamka selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari beliau.
Nama HAMKA melekat stelah ia,untuk pertama kalinya naik haji ke Mekah pada tahn 1927. HAMKA (akronim pertama bagi orang indonesia, red)., yaitu potongan dari nama lengkap, Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Waktu kecilnya, Hamka lebih dekat dengan andung (nenek) dan engkunya (kakek), di desa kelahirannya. Sebab, ayahnya, DR. Haji Abdul Karim Amrullah, adalah ulama modernis yang banyak diperlukan masyarakat pada waktu itu sehingga hidupnya harus keluar dari desa kelahiran Hamka, seperti ke kota padang. Menurut penuturan Hamka sendiri, dia merasa bahwa terhadap kakek dan neneknya merasa lebih sayang dari pada terhadap ayah dan ibunya. Terhadap ayahnya, Hamka lebih banyak merasa takut dari pada sayang. Ayahnya dirasakannya sebagai orang yang kurang mau mengerti jiwa dan kebiasaan anak-anak. Ayahnya dinilainya terlampau kaku dan bahkan secara diametral dinilainya bertentangan dengan kecenderungan masa kanak-kanak yang cenderung ingin “bebas” mengekspresikan diri, atau “nakal”, sebab kenakalan anak-anak , betapapun nakalnya , asal masih dalam batas-batas kewajaran adalah masih lumrah bahkan demikian menurut Hamka. Hamka sendiri pada masa kecilnya tergolong anak yang tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala. Kenakalan kanak-kanak itu mulai tampak tatkala Hamka berusia empat tahun (1912) dan mengalami puncaknya pada usia dua belas tahun (1920). Di antara kelakuan-kelakuan yang di anggap “nakal”, kurang terpuji menurut masyarakat terhadap Hamka, antara lain: (1) belajarnya tidak karuan (dia hanya menyelesaikan “sekolah desa” sampai kelas II saja dan “sekolah diniyah” dan “tawalib” tidak lebih dari lima tahun; (2) bergaul dengan para “Preman”, atau masuk kalangan “parewa”, sebab dia juga mengerjakan sebagaian dari tingkah laku kelompok itu seperti suka menyambung ayam, berkeahlian silat untuk kepentingan kesukaan berkelahi.
Tetapi Hamka, menurut pengakuannya dan juga menurut pengamatan orang lain, belum pernah melakukan perjudian; (3) suka keluyuran ke mana-mana, seperti sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung bioskop untuk mengintip lakon film bisu yang sedang diputar (yang oleh karena itu Hamka sejak kecil telah sangat mengenal aktor semacam Eddie polo, aktris semacam Marie Walcamp, dan sebagainya) memanjat pohon jambu milik orang lain, mengambil ikan di tebat milik orang lain, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka kawannya itu diganggunya, pendeknya hampir seluruh penduduk kampung sekeliling padang panjang tidak ada yang tidak kenal akan “kenakalan” Hamka kecil ini.
Menurut Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya.
Pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang dilakukan itu telah sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni hal yang antara lain menybabkan kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian antara ayahnya, DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta shafiyah. Kejadian ini sangat memukul batin Hamka kecil.
Akibat dirinya merasa terasing dari ayahnya, sebab dia senantiasa bertentangan gaya hidup dengan ayahnya dan juga disebabkan perceraian ayah dengan ibunya, maka dia merasa tidak punya lagi apa yang seharusnya dapat dijadikan pedoman dalam hidup. Sementara itu, hubungannya dengan ayahnya kian dirasakan makin renggang jauh. Maka mulailah dia menyisihkan diri, hidup sesuka hatinya, bertualang kemana-mana, untuk menghibur diri dari duka atas tuduhan pada dirinya sebagai anka yang “nakal”, “durjana” dan “tidak diharapkan menjadi baik lagi”. Sekali-sekali saja dia pulang untuk menengok adiknya di rumah, setelah itu dia pergi bertualang lagi, dia tidak ambil pusing apakah orang masih mau menyelami jiwanya waktu itu atau tidak.
|
Buya Hamka |
Kehidupan Hamka kecil yang cukup memprihatinkan di atas hampir berjalan selama setahun, yaitu dari usia 12 tahun sampai dengan usia 13 tahun, atau sampai sekitar tahun 1921. Sisi positif dari perilaku Hamka kecil mulai dari usia 12 tahun (1920) sampai dengan usia 15 tahun (1923) adalah sebagai
berikut :
a. Sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik itu cerita sejarah kepahlawaan atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah perjalanan dan sebagainya. Dari kegemaran membaca ini, kesadaran otodidak Hamka membaca ini, kesadaran muto didact Hamka kecil sampai dengan masa tuannya menjadi sangat terdukung. Kebiasaan gemar membaca sejak kecil ini, sekalipun senantiasa mendapat marah dari ayahnya (lantaran si Hamka kecil hanya suka membaca buku cerita, sejarah kepahlawanan, kisah perjalanan dan sebagainya, bukan kitab tata bahasa arab (nahwu) atau kitab derivasi kata Arab (saraf) dan sejenisnya), namun oleh Hamka kecil tetap dilakukannya, bahkan diam-diam hamka kecil sudah mulai menulis surat yang ditujukan kepada gadis. Barangkali, inilah antara lain bekal pertama keberaniannya menulis, disamping bakat yang dimiliki sebagai hasil warisan darah dari ayahnya (DR. Haji Abdul Karim Amrullah dikenal sebagai cukup banyak menulis karangan dan kitab).
b. Suka kemampuan daya khayal (fiction) dengan cara banyak mendengar dan merekam dongeng,cerita sehari-hari yang sedang merebak (cerita tentang hantu misalnya), “pidato-pidato adat” dengan menghadiri pertemuan para penghulu (ninik mamak, datuk-datuk) mengadu keindahan suara balam (butung terukur) atau kalau ada perayaan pelantikan para penghulu yang banyak mengungkap kata-kata kebesaran adat tambo, keturunan dan dongeng-dongeng, bahkan si Hamka kecil berani bertanya langsung kepada orang-orang tua yang pandai mengucapkan “Pidato adat” itu kemudian dicatatnya dalam buku tulisnya.
Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk memadukan antara”kesukaan hidupnya’ (sesuai dengan fitrah kekanak-kanakannya) dengan “keinginan ayahnya”, nampaknya Hamka kecil merasa “gagal”. Hal itu terbukti senantiasa terkena marah ayahnya, tak pernah dapat persetujuan, apabila mendapat pujian. Rumah ayahnya, karenanya, dianggap sebagai “penutup pikiran” saja. Oleh karena itu dia ingin “mencari sesuatu” yang dapat melonggarkan kesumpekan hatinya. Maka diputuskanlah unutk berbuat nekat, yaitu “lari”. Kemana dia ingin “lari” itu? Dia ingin berkelana ke sebuah (pulau yang sering dikenalnya lewat bacaannya, yaitu: Jawa. Dalam proses “pelarian itu” itu, dia tidak tahu apa yang akan dapat diraihnya dalam perkenalannya itu dan yang pasti adalah dia ingin lewat bengkulen (bengkulu), sebab di sana saudara persukuannya yang dapat dimintai belanja untuk biaya ke pulau Jawa.
Sungguh, dengan gejolak keremajaannya yang masih kurang sekali perhitungannya, dia berjalan darat, bukan melalui kota-kota besar, melainkan juga sampai menelusuri lubang-lubang tambang. Hal ini dimaksudkannya agar dia lebih panjang lagi berkeliling sumatera, terutama sumatera selatan
(menurut peta wilayah sekarang). Ada yang bilang sebelum dia berangkat telah membawa penyakit cacar, yang lain mengatakan dia terkena cacar karena perjalanan panjangnya lewat pelosok-pelosok itu, dia dibengkulu jatuh sakit cacar. Dalam keadaan sakit cacar (ditambah lagi sakit malaria tertiana) itulah dia mulai sadar dan merasa rindu hatinya kepada hiburan dan kesih sayang ayah dan ibunya. Pengalaman hidup yang paling mengesankannya dalam masa “pencarian” itu (dengan “lari” dari rumah menuju pulau Jawa lewat bengkulu) adalah pengalaman jatuh sakit keras tersebut. Setelah sembuh dengan “hadiah” capuk bekas luka cacar di wajahnya, bahkan ditambah lagi rambutnya berguguran serta penyakit kudis, pulanglah dia ke kampung halamannya. Kata Mohammad Zein Hasan, kawan sepermainan Hamka kecil, kepulangan Hamka kecil kerumah kali ini sudah sedikit mengubah cara hidupnya, Hamka kecil sekarang “sudah agak serius”, pengalaman hidup yang pahit manis yang dialaminya, ditambah lagi dengan kesungguhannya banyak membaca yang ditopang dengan daya ingatnya yang kuat, sikecil Hamka mencoba untuk mengembangkan dirinya untuk waktu-waktu kemudiannya. Dia memang gagal pergi ke pulau Jawa, tetapi dia mendapat keuntungan lain, yaitu mendapat sedikit kesadaran untuk memperbaiki citra dirinya selama ini, terutama kesadaran tentang tampang dan bakat “percaya kepada diri sendiri”.
Sumber:
1. Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 28
2. Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983),h. 51
3. Samsul nizar, memperbincangkan dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (jakarta: kencana, 2008), h. 17.
4. Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983),h. 51
5. Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006),h.60
6. Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 37