Islam Radikal Solo
Secara terminologi definisi radikal sulit dirumuskan. Namun bukan berarti radikal tidak bisa dimaknai secara keseluruhan. Radikal sering dikaitkan dengan teroris. Bahkan sudah menjadi icon bahwa penganut paham Islam radikal adalah mereka komunitas teroris. Meski hampir semua pemuka Islam jelas menolak adanya pengkaitan antara Islam dengan terorisme.
Dalam perspektif oganisatoris, pandangan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Solo mengenai Islam radikal sebagai berikut :
PCNU Kota Solo mengidentifikasi pola pergerakan Islam radikal yang dalam perkembangannya di Kota Solo belum mencapai pada level kasus. Namun demikian karakteristik yang dapat dibaca sebagai berikut: Pertama, Islam radikal cenderung menggunakan interpretasi tekstual. Dalam menafsirkan ajaran Islam khususnya teks al-Qur'an dan hadits hanya sebatas pemahaman yang kaku tanpa memperdulikan konteks ayat. Dalam menafsirkan al-Qur'an tidak berusaha membedah asbab al-nuzul, historical approach juga menafikan keberadaan tafsir yang sudah bersifat standar misalnya mengabaikan tafsir al-Maragi, tafsir Ibnu Kasir dan lain-lain.
Demikian pula dalam memahami hadits menafikan asbab al-wurud apalagi persoalan tahrij. Sehingga kualitas dan otentisitasnya menjadi terabaikan. Pemahaman seperti ini bukan saja keliru melainkan terjadi pendistorsian ajaran Islam.
Kedua, Islam radikal cenderung keras dan revolusioner. Konotasi keras bukan sebagai pelabelan tanpa alasan, namun hal itu akibat dari perbuatannya yang merusak sendi-sendi kemanusiaan. Mereka bertindak tanpa menseleksi pihak mana yang salah. Kenyataan menunjukkan mereka menggunakan cara membumi hanguskan orang-orang yang tidak bersalah. Semua agama tidak ada yang memberi simpati terhadap tindakan biadab. Demikian pula aksi revolusioner telah menghilangkan aspek-aspek sunatullah yang segalanya seharusnya bertahap. Namun kenyataan tindakannya ingin merubah dalam waktu singkat.
Ketiga, Islam radikal terobsesi ingin meletakkan syari'at Islam sebagai ajaran yang final tanpa bisa ditawar lagi. Mereka sangat mendahulukan arti sebuah simbol ke Islaman. Mereka menginginkan dengan paksa agar dalam konstitusi negara dicantumkan asas atau dasar syari'at Islam tanpa melihat pihak minoritas non muslim. Mereka tidak menyadari bahwa kitab fikih pun masih mengandung khilafiah yang ketika dalam implementasinya bisa terjadi tarik menarik, klaim mazhab yang paling benar dan pendapat yang paling baik. Persoalan ini disederhanakan dengan mengatakan penegakan syari'at Islam bisa menyelamatkan umat manusia. Mereka menganggap bahwa agama Islam serba lengkap dan semua persoalan kenegaraan dan masyarakat serta persoalan kepemimpinan sudah ada aturannya secara rinci dalam al-Qur'an dan hadits. Mereka melihat tidak ada alasan bagi orang yang menolak penegakan syari'at Islam. Hukum hudud, diat, jarimah, qisas merupakan sistem hukuman yang paling terbaik sedangkan hukum di luar kerangka itu sebagai kekafiran yang tak termaafkan.
Keempat, Islam radikal menghendaki pelaksanaan ajaran Islam secara kaaffah. Mereka menginginkan Islam berlaku dalam kehidupan negara dan bangsa secara utuh sesuai dengan originalitasnya ajaran Islam. mereka meniadakan arti dan peran penting ijtihad dan mereka mematikan nilai-nilai akal manusia.
Kelima, Islam radikal sangat membenci dan menolak semua produk yang lahir dan dikembangkan dari Barat. Mereka menganggap seluruh budaya dan perkembangan peradaban Barat telah menjerumuskan manusia dalam penderitaan. Mereka menilai tidak ada satu pun produk Barat yang boleh diadopsi atau diterima apalagi dikembangkan. Mereka menganggap peradaban Islam jauh lebih tinggi dan umat Islam tinggal melanjutkan saja zaman keemasan Islam
Keenam, Islam radikal anti toleransi dan cenderung fanatik. Mereka tidak bisa menerima perbedaan agama, penghormatan terhadap agama lain dianggap sebagai penyimpangan dari akidah. Islam radikal tidak bersedia interaksi atau berhubungan muamalah dengan umat lain yang non Islam. Klaim kebenaran dan penyudutan terhadap agama menjadi wajah aslinya Islam radikal.
Ketujuh, Islam radikal menghalakan segala cara. Untuk bisa mewujudkan cita-citanya, Islam radikal tanpa segan-segan merampok kekayaan orang lain guna membiayai operasinya. Mereka menghalalkan cara-cara perampokan demi perjuangan.
Kedelapan, Islam radikal selalu mengkaitkan perjuangannya dengan konsep jihad. Bagi Islam radikal, jihad adalah perang fisik yaitu memerangi orang kafir atau orang Islam yang tidak sepaham dengannya walaupun pihak lawan tidak melakukan agresi. Bagi Islam radikal yang tidak sepaham dengannya dianggap telah melakukan agresi terselubung, karena itu Islam radikal membenarkan offensive dalam situasi dan kondisi apa pun (Dokumentasi PCNU Kota Solo periode tahun 2001-2006 “Deskripsi Islam Radikal”).
Menurut Drs. HM. Hamdani Yusuf sebagai Wakil Rais (wawancara Tanggal 24 Juli 2007), secara sederhana yang dimaksud dengan kelompok "Islam radikal" adalah kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan, untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka. Secara sosio-kultural dan sosio-religious, kelompok radikal ini mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual mereka yang khas. Kelompok "Islam radikal" seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Menurut Drs. HM. Hamdani Yusuf, harus dicatat pula bahwa terkadang sebuah kelompok memiliki perbedaan karakteristik dengan kelompok yang lain walau keduanya memiliki tujuan yang sama. Sebagai contoh, karakteristik ideologis dan derajat puritanitas yang diadopsi oleh FPI tentu berbeda dengan Darul Arqam, tapi keduanya bertemu dalam tujuan yang sama yakni menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Karena itu menurut Drs. HM. Hamdani Yusuf, perlu ditegaskan sejak awal bahwa keragaman dan kompleksitas gerakan-gerakan seperti ini tetap diakui sesuai dengan kenyataan sosialnya masing-masing. Dengan kata lain, suatu kelompok dapat dianggap sebagai "Islam radikal" jika kelompok itu memiliki semua, atau paling tidak, tiga karakteristik. Hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang unik tapi utuh, serta kuat secara konseptual dan metodologis atas gerakan yang disebut sebagai "Islam radikal" ini.
Menurut KH Shodiq Hamzah sebagai Mustasyar (wawancara Tanggal 25 Juli 2007), berbicara Islam radikal, maka pertanyaan penting yang mengemuka adalah apa warna ideologi yang khas dari sebuah gerakan "Islam radikal"? Harus dicermati bahwa dalam beberapa literatur, istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena kontemporer "fundamentalisme" dalam Islam tidaklah seragam. Karena itu, istilah "Islam radikal" seringkali dipakai secara overlapping dengan istilah "Islam fundamentalis" atau 'Islam revivalis'. John L. Esposito, sebagai misalnya, lebih suka menggunakan istilah 'Islam revivalis untuk menunjuk gerakan Islam kontemporer itu.
Menurut KH Shodiq Hamzah, secara umum, meminjam terminologi Esposito, dapat diidentifikasi beberapa landasan ideologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan tersebut, yakni pertama, kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total. Dengan demikian, Islam itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik, hukum, dan masyarakat.
Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materialistis harus ditolak. Mereka juga meyakini bahwa masyarakat Muslim telah gagal membangun masyarakat beragama yang ideal karena telah berpaling dari jalan lurus' sesuai dengan ajaran Islam dengan mengikuti cara pandang Barat yang sekular dan materialistis tersebut.
Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk kembali kepada Islam sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan ini hanya mungkin dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran Islam yang otentik seperti Al-Qur'an dan Sunnah.
Keempat, menurut KH Shodiq Hamzah karena ideologi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, yang banyak berkembang pada masyarakat Muslim sebagai sebuah warisan kolonialisme, juga harus ditolak. Sebagai gantinya, masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima.
Kelima, menurut KH Shodiq Hamzah meskipun banyak yang menganggap kelompok-kelompok ini terlalu mengagung-agungkan kejayaan Islam di masa lalu yang tercermin pada sikap puritan dalam upaya pemberlakuan sistem sosial dan hukum yang sesuai dengan masa Nabi Muhammad dan dengan jelas menolak ideologi masyarakat Barat, tapi pada kesempatan yang sama, kelompok-kelompok ini sebenarnya tidak menolak modernisasi. Setidaknya mereka tidak menolak modernisasi, seperti juga halnya mereka tidak menolak sains dan teknologi, sejauh hal-hal ini tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan dan merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Terlebih lagi, jika memungkinkan, hal-hal itu dapat disubordinasikan ke dalam nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Untuk itu, kelompok ini secara umum, sebagaimana layaknya kelompok masyarakat lain yang merupakan bagian dari masyarakat yang hidup di dunia modern, sesungguhnya hanya menentang penyimpangan-penyimpangan abad modern.
Terkadang, justru banyak contoh yang dapat menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok ini menggunakan sains dan teknologi sebagai alat atau "senjata" untuk memperkuat basis sosial masyarakat Islam sekaligus melawan Barat itu sendiri. Ilustrasi menarik yang dapat dikemukakan di sini adalah bagaimana dalam sosialisasi gagasan dan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa gerakan Islam tersebut, penggunaan alat-alat komunikasi modern seperti telepon seluler dan internet bukan merupakan hal yang tabu dalam mendukung keberhasilan aksi mereka.
Keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat. Meskipun terkadang berskala kecil, kelompok yang dibangun biasanya secara ideologis berkarakter kuat, dengan mengandalkan sebagian anggota kelompok yang lebih terdidik dan terlatih. Dengan cara seperti inilah, mereka dapat meyakinkan para pengikutnya untuk menjalankan tugas suci keagamaan dalam rangka menegakkan hukum Islam.
Menurut KH. DR. (Hc) Moh Rifa’i sebagai Mustasyar (wawancara Tanggal 25 Juli 2007) melihat berbagai gejala yang lebih kontemporer, apa yang diperlihatkan para aktivis gerakan-gerakan aliran Islam radikal terkadang melampaui beberapa landasan ideologis. Setidaknya terdapat beberapa karakteristik yang dapat didentifikasi mengapa sebuah. kelompok layak disebut sebagai "Islam radikal".
Pertama, mereka masih sering menunjukkan mentalitas "perang Salib". Dalam 'konteks sekarang, hegemoni dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, terhadap bangsa-bangsa lain sering dianggap sebagai salah satu bentuk "penjajahan baru". Sementara itu, ide-ide mengenai adanya konspirasi dunia Barat, termasuk di dalamnya gerakan Zionisme Yahudi, yang menentang Islam dan dunia-Islam tetap berkembang dalam kelompok ini.
Kedua, menurut KH. DR. (Hc) Moh Rifa’i, penegakan hukum Islam yang juga kerap diupayakan dengan keras oleh kalangan revivalis dan fundamentalis Muslim tidak lagi dianggap sebagai sebuah jalan alternatif melainkan sudah menjadi suatu keharusan. Dengan kata lain, tidak ada lagi jalan yang sah di dalam membentuk sebuah komunitas Muslim yang benar-benar tunduk kepada Tuhan melainkan dengan jalan menjadikan Islam sebagai landasan bagi segalanya termasuk di dalamnya kehidupan agama, sosial dan politik.
Ketiga, menurut KH. DR. (Hc) Moh Rifa’i, terdapat sebuah kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah berikut sistem-sistemnya yang mapan tapi dianggap tidak sah, khususnya karena kurangnya perhatian terhadap masalah penyakit sosial masyarakat yang mereka identifikasi sebagai maksiat dan kemungkaran. Karena itu, sebagian di antara kelompok ini tidak lagi mempercayai lembaga-lembaga hukum pemerintah guna menanggulangi hal tersebut, Mereka percaya bahwa mereka mampu menanggulangi dan memerangi penyakit sosial itu sendiri dan tentu saja dengan cara-cara mereka sendiri tanpa mengindahkan ruang publik yang menjadi milik masyarakat luas. Dalam konteks Indonesia dewasa ini, hal ini dengan jelas terlihat pada gerakan Front Pembela Islam (FPI).
Keempat, semangat untuk menegakkan agama sebagai lambang supremasi kebenaran ajaran Tuhan di dunia dengan jalan jihad dengan sendirinya mendapatkan tempat yang sangat terhormat. Bahkan, melakukan jihad dengan segenap aspeknya melawan kebatilan, kemunkaran dan musuh-musuh yang membenci Islam yang mereka yakini merupakan sebuah tugas keagamaan yang suci. Bahkan, terdapat kesan yang kuat bahwa jihad lebih dimaknai sebagai sebuah usaha fisik untuk memerangi musuh-musuh Islam.
Kelima, menurut KH. DR. (Hc) Moh Rifa’i, dengan pengalaman menyaksikan hubungan antara Islam dan Yahudi dalam persengketaan antara kelompok Muslim dan Yahudi di kawasan Palestina yang kian hari semakin memburuk, dan masalah pertentangan dan pertikaian antara Islam dan Kristen yang masih kuat di beberapa kawasan, termasuk di Indonesia, serta isu klasik kristenisasi, hubungan antara Islam dan Kristen ini secara signifikan mempengaruhi persepsi kelompok-kelompok 'Islam radikal'. Dalam konteks ini, kaum Yahudi dan Kristen tidak lagi layak dianggap sebagai kelompok yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai 'Ahli Kitab' melainkan sudah jatuh sebagai kaum 'kafir' karena sejarah kedua agama tersebut identik dengan kolonialisme Barat dan zionisme. Kedua pemeluk agama ini secara umum dianggap sebagai memiliki kesatuan tujuan dalam melakukan konspirasi melawan Islam dan Dunia Islam.
Menurut H. Tasmat Abdurrahman sebagai Mustasyar (wawancara Tanggal 26 Juli 2007), bangkitnya gerakan Islam di Indonesia yang lebih berkarakter radikal mengagendakan perjuangan yang amat kuat terhadap perbaikan masyarakat, bangsa dan negara baik secara ekonomi, sosial dan politik yang dibingkai dalam semangat Islam yang formalistik. Secara politik, biasanya mereka mengeluarkan isu-isu politik yang tidak asing lagi bagi iklim politik di Indonesia. Isu-isu negara Islam, syariat Islam, dan kepemimpinan Menurut H. Tasmat Abdurrahman sebagai Mustasyar (wawancara Tanggal 26 Juli 2007), bangkitnya gerakan Islam di Indonesia yang lebih berkarakter radikal mengagendakan perjuangan yang amat kuat terhadap perbaikan masyarakat, bangsa dan negara baik secara ekonomi, sosial dan politik yang dibingkai dalam semangat Islam yang formalistik. Secara politik, biasanya mereka mengeluarkan isu-isu politik yang tidak asing lagi bagi iklim politik di Indonesia. Isu-isu negara Islam, syariat Islam, dan kepemimpinan.