Pemikiran Syahrûr yang tertuang dalam buku ini tergolong pemikiran mengundang kontroversi. Menurut Andreas Chrisman, hal ini disebabkan karena Syahrûr dalam buku ini melakukan langkah defamiliarization (penidakbiasaan). Yakni digunakannya bahasa sebagai cara yang sangat menarik perhatian karena sebagai sesuatu yang tidak umum, dengan mengesampingkan proses automization. Penidakbiasaan (defamiliarisasi) adalah istilah yang menggambarkan sebuah proses yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai sesuatu yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan proses automization (otomatisasi). Defamiliarisasi adalah sebuah bentuk strategi bawah tanah untuk menggambarkan sebuah objek seni sastra “seakan-akan seseorang yang melihatnya untuk pertama kali”. Tujuan dari langkah defamiliarisasi adalah melawan pembiasaan cara baca konvensional terhadap sebuah sastra sehingga objek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi objek yang tidak dikenal dan berada di luar dugaan pembaca. Pendekatan Syahrûr secara umum juga dikenal dalam teori sastra mazhab Formalis Rusia dan aliran Praha yang memunculkan istilah defamiliarisasi atau dehabitualisasi. Pendekatan ini mengindikasikan sebuah keinginan menggugat sebuah pembacaan terhadap teks yang sebenarnya telah baku (karena kesepakatan). Namun pada sisi yang lain pendekatan ini juga menawarkan konsep (sebagai pengganti) alternatif yang terbilang berbeda dalam memahami teks. Dengan langkah defamiliarisasi ini maka, dengan sendirinya Syahrûr melalui buku ini, menawarkan sistem pembacaan yang sama sekali baru dan berbeda, baik dalam ranah pendekatan maupun metodologi lebih-lebih hasil yang didapatkan.
Objek kajian utama dalam buku ini adalah dua sumber pokok ajaran Islam; al-Tanzîl al-Hâkim; dan al-Sunnah. Terlihat dalam buku ini betapa Syahrûr dengan sepenuhnya berusaha konsisten berpijak pada pendekatan anti sinonimitas (‘adam al-tarâduf) sebagaimana dalam mazhab Abû Alî al-Fârisî.
Karya perdana ini juga berisi dasar-dasar teoritis bagi sistem pemikiran yang dikembangkan olehnya dalam karya-karya selanjutnya. Berawal dari pendekatan yang “nyleneh” maka tidak mengherankan jika buku pertama Syahrûr tersebut, memperoleh tanggapan luar biasa dari pembaca, yang kemudian menjadikannya termasuk salah satu buku terlaris di Timur Tengah. Berbagai macam respon; baik dari yang pro maupun yang kontra, muncul dari berbagai kalangan terhadap tawaran-tawaran baru yang dikemukakan oleh Syahrûr dalam buku pertamanya tersebut. Mereka yang menyatakan sepakat dan setuju menilai gagasan-gagasan Syahrûr sebagai ide-ide kreatif yang layak untuk dipuji dan diacungi jempol. Apresiasi ini sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kalangan. Sultan Qaboos di Oman; misalnya, membagikan buku itu kepada para menterinya dan merekomendasikan mereka untuk membacanya. Bahkan sarjana non-Muslim, seperti Wael B.Hallaq, dan Dale F.Eickelman dalam kesempatan yang berbeda mengemukakan kekaguman terhadap kreatifitas Shahrûr.Sebaliknya, orang-orang yang kontra atas gagasan-gagasan Syahrûr; seperti Sâlim al-Jabî dengan Mujarrad al-Tanjîm al-Qur`ân Li Duktur Muhammad Syahrûr, Mahami Munîr Muhammad Thâhir al-Syawwâfi dengan Tahâfut al-Qirâ`ah al-Mu’âshirah dan sederet nama lainnya mengonter gagasan Syahrûr dalam bentuk karya tulis. Bahkan sebagian pemerintah negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab secara resmi melarang buku-buku Syahrûr beredar di negara-negaranya. Masyarakat Islam pengikut Syahrûr lebih banyak berada di negara-negara Eropa dan Amerika daripada di dunia Islam terlebih-lebih di daerah Arab. Dengan banyaknya karya yang kontra atasnya maka, dengan sendirinya memposisikan Syahrûr; dalam satu sisi sebagai sosok yang dibenci dan dimusuhi namun pada sisi yang lain ia menjadi “selebritis” Alquran bersama sederet pemikir lainnya.
Dari sekian banyak kritikus atas buku al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah akhirnya, Syahrûr membagi mereka menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang tidak menghargai usaha keras intelektual, menilai berdasarkan emosi dengan komentar-komentar sinis dan mengklaim penulis melakukan kajian tanpa pemahaman. Kedua, kelompok yang sok tahu, sekedar melakukan kritik pada bentuk luar saja dan ketiga, kelompok yang berusaha keras mempelajari dan memberikan kajian kritis yang memadai.
Sebagai sebuah produk pemikiran maka, kritik sekaligus sanggahan atas buku al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah, terlepas sinis ataupun ilmiah merupakan hal yang wajar sebagai manifestasi dialektika atas sebuah produk pemikiran. Selain itu hal tersebut sekaligus resiko dari menawarkan pemikiran yang kontroversial dan “nyleneh” yang keluar dari keumuman yang telah menjadi kesepakatan. Orang-orang yang seirama dengan pemikiran Syahrûr atau sebut saja Islam liberal merupakan sekelompok orang yang melihat adanya celah yang mungkin untuk dilalui. Mereka dapat diilustrasikan layaknya seseorang yang memasuki rumah yang pada umumnya melalui pintu, namun kalangan ini mencoba memasukinya melalui cendela atau celah dan beberapa lubang fentilasi dari rumah tersebut.
ADS HERE !!!